Minggu, 11 Desember 2016

Matahari Terbit dari Banyuwangi

Kami berdua duduk menyusuri sawah, yang ditanami jeruk, buah naga, dan kubis. Nick mengangguk-angguk melihat bagaimana tumpang sari dilakukan di desaku. Ia berbincang-bincang dengan Bapak dan beberapa petani penggarapnya, sementara aku berteduh di dangau.

Aku ingin selalu melihat pemandangan itu. Nick berada di tengah-tengah lelaki lainnya, bersama Bapak dan para petani. Mereka akan sibuk mengecek buah jeruk, memetik buah naga, dan menyiangi kubis. Aku tak keberatan kulitnya akan gosong, dan tubuhnya meruapkan bau sawah. Aku akan membawakan makan siang ke dangau. Menunya nasi dan ikan asin.

Nick menghampiriku. Lamunanku buyar. Wajahnya penuh senyum, seperti sedang terpesona. Ternyata ia baru mendengar cerita kalau keuntungan petani jeruk Banyuwangi cukup besar, bisa mencapai Rp 30 juta persetengah hektar.

"Di Jakarta, orang bisa kerja mati-matian tapi hampir mustahil bisa mendapatkan tiga puluh juta!" "Sama saja, Nick! Petani di sini juga punya banyak masalah. Kadang-kadang kalau musim kering, jeruknya enggan berbuah. Kalaupun ada, itupun tidak berkualitas. Rasanya nggak manis, bentuknya nggak jelas."

Nick terdiam. Ia tampak berpikir. Matanya menyipit menahan silau matahari. "Tapi tetap saja, Jeng! Kamu gadis yang beruntung! Kamu bakal mewarisi semua ini. Apalagi seperti cerita kamu, kakak-kakakmu nggak ada yang tertarik menjadi petani!"

"Tapi, aku juga nggak mau jadi petani! Itu kan pekerjaannya laki-laki. Lebih baik aku jadi istrinya petani..." Aku mencoba melucu. Tapi Nick sama sekali tak tersenyum.

Di kejauhan, beberapa petani Bapak memperhatikan kami.
"Menarik sekali," kata Nick seperti bergumam.
"Apanya yang menarik, Nick?"
"Lebih baik kamu menggarap lahan ini daripada kerja jadi customer service di Surabaya."
"Nanti kulitku tambah item. Ogah ah, Nick!"
"Kamu kan nggak harus terjun ke sawah. Tapi kamu bisa membuat perkebunanmu menghasilkan produk bernilai tambah."
"Maksud kamu?"
"Supaya bisnis kamu berkembang."
"Untuk memenuhi permintaan dari Bali saja, Bapak udah kewalahan."
"Di situlah letak tantangannya Jeng. Kalau kamu bisa berpikir di luar dari yang dipikirkan orang-orang, kamu selangkah lebih maju dari mereka."

Aku terbuai semangat Nick. "Jadi apa yang harus dilakukan?"
"Dari jeruk saja, kamu bisa membuat macam-macam produk. Sari jeruk, manisan kulit jeruk, atau kafe."
"Kafe?"
"Iya, bayangkan kafe yang serba jeruk. Ornamennya, interiornya, menunya."
"Ini Banyuwangi, Nick. Bukan Jakarta."
"Kamu bisa buka di Surabaya."

Ia menceritakan padaku apa yang ada di pikirannya saat itu. Aku benar-benar tergugah oleh semangatnya. Tetapi, sulit rasanya aku membayangkan untuk melakukan semua yang dikatakannya. Namun, aku membiarkan Nick berbicara terus, hanya untuk menikmati saat-saat itu. Berdua saja dengan Nick.

***

Keesokan harinya, Nick meninggalkan Banyuwangi. Aku turut serta mendampinginya ke Surabaya, meski sebenarnya masih libur. Kami naik travel dan sebelum berpisah, Nick mencium tangan kedua orangtuaku. Ada semacam emosi yang kucuri dari wajah Nick saat itu. Apakah Nick sedih karena harus meninggalkan Banyuwangi?

Sepanjang perjalanan menuju Surabaya, Nick lebih banyak diam atau tertidur. Travel sampai ke bandara terlebih dahulu. Aku sedih tidak bisa berpisah dengan layak dengannya. Ia meninggalkanku dan tak menoleh lagi. 
"Aku benci bandara," kataku beberapa saat sebelum travel tiba di Juanda. 
"Mengapa?" Ia bertanya.
"Karena di bandara, orang-orang datang dan pergi."

Nick tak mengatakan apa-apa lagi sesudahnya. Tetapi, ketika aku melihat ia masuk ke dalam bandara aku sangat ingin berlari ke arahnya dan mengikuti Nick terbang ke Jakarta.

***

Jakarta, 2007

Ajeng tidak percaya kalau ia bisa menjadi pegawai tetap di sebuah bank swasta asing di Jakarta. Ia memang baru bekerja selama setahun lebih sedikit, tetapi dari teman-teman kantornya yang bahkan sudah bekerja bertahun-tahun, semuanya masih dalam status kontrak.

Ajeng lulus sarjana sastra Inggris pada tahun 2002. Ia menetap di Surabaya dan nasib membawanya mengabdi sebagai guru bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah pertama. Bertahun-tahun dihabiskannya mengajar, tanpa ada tantangan.

Jauh di lubuk hatinya, ia merasa hampa. Perasaan yang lalu membawanya ke Jakarta. Dengan susah payah, ia lalu meyakinkan kedua orangtuanya untuk memberinya izin bekerja dan tinggal di rumah kakak laki-lakinya di Jakarta.

Namun, setelah tiga bulan tinggal bersama, Ajeng merasa tidak kerasan. Rumah itu terlalu sepi. Gusti dan Lastri terlalu sibuk, Ajeng ditinggalkan sendirian, dan keluarga itu belum juga dikaruniai keturunan.

Ajeng memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah kost di daerah Bendungan Hilir. Ajeng sudah bekerja selama 3 bulan, ketika ia memutuskan pindah ke Benhil. Menjadi customer service sama sekali bukan cita-citanya, tetapi pekerjaan itu memberikannya uang, dan meski tak terlampau banyak, uang memberi Ajeng sedikit kebebasan. Ia bisa membayar uang kost, mencukupi kebutuhannya sendiri, dan bersenang-senang bersama teman-temannya. Namun, sesungguhnya, ia tak pernah merasa dekat dengan siapapun di kantornya.

Atasannya sering berkata kalau nasabah yang meneleponnya ingin dilayani dengan baik. Mereka tidak mau tahu apakah saat itu seorang customer service sedang sakit, terkena musibah, sedang memiliki masalah keluarga, atau sedang berantem dengan pacarnya. Ajeng tersenyum dalam hati. Tenang saja, saya tidak punya pacar, bahkan belum pernah pacaran, jadi tidak akan mengalami patah hati karena berantem dengan pacar. Saya akan jadi customer service terbaik!

Tentu saja, ada masa-masanya Ajeng merasakan tekanan, tetapi ia menyelesaikan segalanya dengan baik. Sendirian. Ia tak merasa perlu dugem setiap jumat malam seperti banyak teman-temannya yang berasal dari daerah dan mengalami gegar budaya. Ia merasa bukan tempatnya berada di kafe, atau diskotik. Ia lebih suka membaca buku, dan kadang-kadang menangis sendirian ketika kehampaan itu datang. Dunia Ajeng mulai bergoncang ketika Nick datang.

***

Sejak pertama kali melihatnya, ada sesuatu yang istimewa pada diri Nick. Untuk pertama kalinya, Ajeng merasa tertarik pada seorang laki-laki. Selama ini, Ajeng tidak pernah pacaran, karena ia belum pernah menemukan seorang laki-laki yang bisa menggugah hatinya. Sampai ia berkenalan dengan Nick. Ia customer service baru. Nick berusia 6 tahun lebih muda dari Ajeng, tetapi Ajeng selalu melihat Nick sebagai sosok yang cerdas, dan meski ia heran mengapa Nick bisa sampai terdampar sebagai seorang customer service, Ajeng sangat menikmati kehadiran Nick di kantor.

Nick menggenggam tangan Ajeng sambil menyebutkan namanya. Tubuhnya agak sedikit kurus, sebenarnya agak sedikit pendek dari tinggi rata-rata laki-laki, tetapi wajahnya menarik. Ketika Nick berbicara, wajahnya seperti bercahaya. Ia ramah terhadap semua orang. Semua orang tidak bisa tidak menyukai Nick, dan meski Nick begitu ramahnya, Ajeng merasa Nick begitu sulit dijangkau.

Nick berada di row cubicle yang sama dengan Ajeng. Stationnya hanya berjarak dua orang dengan Ajeng. Ketika sedang berbicara dengan nasabah, Ajeng bisa mendengar suara Nick yang sebenarnya agak cempereng. Nick tidak pernah alpa menyapa semua orang, demikian juga semua orang yang seolah-olah selalu ingin menyapa Nick.

Teman-teman terdekat Nick adalah Agung, Vanda dan Justin, namun ia milik semua orang. Meski kelihatannya Nick sosok ekstrovert, tidak banyak yang bisa dikorek dari dirinya, dari mana ia berasal, atau di mana ia tinggal. Sebagian besar dari dirinya adalah misteri.

Suatu ketika, Nick makan siang dengan Agung. Agung mengajak Tanti, tapi Tanti tidak bisa keluar makan karena sedang bertugas, sehingga Tanti menyarankan agar Agung mengajak Ajeng. Itulah pertama kalinya, Ajeng semeja dengan Nick. Ajeng berusaha menyembunyikan letupan semangatnya. Ia tidak ingin kelihatan terlalu bersemangat, tetapi ternyata semuanya berjalan dengan baik. Nick mengobrol dengannya, menanyakan hal-hal tentang semua orang, dan Ajeng tahu sejak saat itu, hatinya telah begitu terpikat oleh Nick. Nick seorang pendengar yang hebat. Meski ia tak terlalu ingat hal-hal detail sebagaimana umumnya laki-laki, Nick ingat apa saja hal-hal penting mengenai rekan-rekan kantornya.

Nick. Nick. Nick yang tidak pernah kasak-kusuk mengejar posisi karyawan tetap seperti teman-teman kantornya, tetapi ialah yang. selalu mendapat pujian dari atasan.

Suatu ketika terdengar kabar kalau Nick akan resign. Ajeng kaget! Ia konfirmasikan kebenaran berita itu kepada Nick yang mengajaknya makan malam. Berdua saja. Pada saat itu, hubungan mereka telah menjelma teman baik, mungkin tidak sedekat yang diinginkan Ajeng, tetapi seperti yang diakui Nick, Ajeng adalah salah satu teman yang cukup nyambung dengannya.

Di sebuah kafe malam itu, mereka mengobrol. Nick kelihatan serius sekali. Ternyata ia mendapat tawaran menjadi penulis skenario freelance.
"Aku selalu ingin jadi penulis," kata Nick saat itu.
"Tapi hanya freelance, Nick. Bulan depan kamu diangkat jadi karyawan tetap. Apa kamu nggak merasa sayang melepas kesempatan itu begitu saja?"
"Aku tidak melihat masa depanku di sini, Jeng. Aku ingin menjadi penulis dan melihat dunia."

Ajeng masih ingat betapa dadanya berdesir hebat selepas Nick mengatakan hal itu. Ia tidak ingin berusaha lebih keras lagi mencegah kepergian Nick, karena takut kalau Nick berpikir yang macam-macam. Nick akan pergi. Tak bisa dipercaya jika seseorang yang baru dikenalnya dalam 6 bulan terakhir, telah membuatnya merasa begitu kehilangan.

Selepas Nick pergi, Ajeng merasa begitu hampa. Setiap kali melihat ke tempat duduk Nick, ia merasakan kekosongan yang begitu dalam, yang berada di rongga dadanya. Ia tidak bahagia lagi, rasanya terlalu menyakitkan.

Satu bulan kemudian, Ajeng mengajukan surat pengunduran dirinya. Tetapi ia datang ke atasannya dengan ide lebih baik. Ia mengatakan ingin pindah ke cabang di Surabaya agar bisa lebih dekat dengan keluarganya di Banyuwangi. Mereka mengabulkan permintaan Nick, mungkin karena waktunya pas. Mereka tidak mengecek, bahwa dibutuhkan waktu 7 jam perjalanan darat untuk mencapai Banyuwangi dari Jakarta. Ia lalu meninggalkan Jakarta, dengan alasan sebenarnya yang hanya ia yang tahu.

 ***

Jakarta
Suatu Hari di Bulan Desember 2012

Hari ini rencananya, Ajeng dan Nick akan kembali bertemu. Bukan di mal untuk makan malam bersama, bukan pula di bioskop untuk menonton film. Ajeng mengundang Nick ke rumah kakaknya, Gusti. Sebenarnya Ajeng lebih suka nongkrong di luar bersama Nick, tetapi Lastri memaksa. Ajeng tahu Lastri penasaran ingin bertemu dengan Nick setelah diceritakan Mami. Pasti Mami bercerita pada Lastri mengenai Nick yang main ke rumahnya di Banyuwangi.

Lewat tengah hari, Nick datang dengan taksi. Ajeng bersikeras membayarkan uang taksi dan Nick tidak menampiknya. Gusti dan Lastri menyambut Ajeng dengan hangat.

Ketika Nick dan Gusti mengobrol di ruang tamu dan Ajeng sedang menyiapkan minuman, Lastri menghampirinya. 

"Jadi ini?"
"Bukan mbak. Cuma teman kok. Mantan sekantor dulu."
"Ajeng, udahlah. Mbak kan perempuan, jadi tahulah. Gimana? dia sendiri gimana sama kamu?"

Ajeng tersenyum. "Ya nggak gimana-gimana. Orang kita nggak ada apa-apa kok." Ajeng meninggalkan Lastri untuk mengantarkan minuman dan makanan ringan untuk Nick.

Tetapi ketika Ajeng kembali ke dapur, ia menemukan Lastri masih dalam posisi semula. "Ajeng, kelihatannya Mas Gusti juga suka sama Nick. Orangnya juga cukup cerdas ya? Aslinya mana dia?" "Astaga Mbak Lastri...." Kali ini, wajah Ajeng memerah.

Ketika Ajeng hendak meninggalkan dapur, tangan Lastri malah menarik tangannya. "Ajeng, mbak tahu bagaimana caranya membuat seseorang yang kamu suka, jadi suka sama kamu."
"Mbak ini, ngomong apa sih?"
"Kita ini orang Banyuwangi, Jeng. Ada caranya agar Nick bisa mau sama kamu. Mbak kenal sama orang-orang..."
"Mbak Lastri!" 

Ajeng melepaskan pegangan tangan Lastri darinya dan lalu meninggalkan dapur. Setelah itu mereka makan siang. Ajeng lebih banyak diam. Ia merasa belum pernah semarah ini pada Lastri. Bagaimana mungkin Lastri bisa berkata seperti itu? Saran macam apa itu? Ajeng bergidik. Jangan-jangan Lastri pernah menerapkan sarannya sendiri untuk mendapatkan hati Gusti.

***

"Keluarga kamu ramah ya," komentar Nick malam itu.
 Ajeng dan Nick melewatkan malam minggu di sebuah kafe sambil menunggu pertunjukkan midnight.

Kelak, Ajeng akan mengenang malam itu sebagai salah satu saat-saat paling indah bersama Nick. Ketika Ajeng merangkum kisah hidupnya dan menceritakannya pada Nick. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya sebelumnya.

Kamu tahu keluargaku petani jeruk. Kami dulu susah. Aku sempat menunda dua tahun kuliah, karena tak ada biaya. Tetapi benar kata orang, hidup ini kadang di atas, kadang di bawah. Setelah melewati masa-masa sulit, akhirnya perkebunan jeruk orangtuaku semakin maju. Permintaan datang terutama dari Bali. Di sana jeruk adalah bagian dari ritual keagamaan sehari-hari. Tapi kamu tahu, selain menanam jeruk, Bapak juga menanam kubis dan buah naga. Dari hasil bumi itulah keluargaku hidup.

"Bagaimana dengan masa kecil kamu? Pasti kamu anak kesayangan ya? Anak perempuan bungsu..."

Lalu mengalirlah cerita tentang masa lalu Ajeng. Tentang hubungannya yang tidak terlalu erat dengan kedua kakaknya, tentang ayahnya yang menurutnya, lebih memperhatikan kedua kakaknya, dan ibunya yang selalu ada untuknya.

"Bagi Bapak, mungkin dua anak laki-laki sudah cukup dan kehadiran anak perempuan lain, sungguh di luar harapannya."
"Jangan berpikir begitu. Semua orangtua pasti menyayangi anak-anaknya."

Bagi Ajeng, malam itu seperti mimpi, ketika ia menceritakan segala kegundahannya pada Nick, dan Nick memberikannya kalimat-kalimat penghiburan yang sungguh menenteramkan hatinya.

"Mungkin karena beda usiaku yang cukup jauh dengan kedua kakakku, sementara usia mereka berdekatan yang membuatku tidak begitu dekat dengan mereka," simpul Ajeng. "Bahkan, kedua kakakku menikah dalam waktu yang hampir bersamaan."

Ia juga bercerita kalau Gusti sampai saat ini belum punya anak, sementara istri Bayu justru sedang hamil anak keempat. "Ibu mulai bertanya kapan aku menikah."

Tapi bagi Ajeng, Nick tampaknya menanggapi dengan lain curahan hatinya tersebut.
"Ajeng," kata Nick. "Sekarang setelah kamu dewasa dan kamu bisa mencerna peristiwa-peristiwa, kamu memiliki pilihan untuk membiarkan masa lalu kamu mempengaruhi kamu, atau sebaliknya. Kamu mengejar mimpi-mimpi kamu."

Lalu pada saat itu, Ajeng terbetik ide untuk mengaku. Suasananya pas, tenang, tidak banyak orang dan Nick kelihatan santai sambil menyeruput green tea latte-nya.

Dalam hening beberapa menit itu, ia mengumpulkan keberanian. "Ajeng, kita harus bergegas, filmnya sudah mau mulai," kata Nick. Ajeng menghela nafas. Sadarkah Nick kalau Ajeng sama sekali tidak menyentuh capuccino-nya?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar