Senin, 15 Februari 2016

Hepi hepi di Kota Bharu

Saya suka datang ke suatu tempat sebelum fajar menyingsing, dan menyaksikan matahari perlahan muncul dan membuat dunia terang. Seperti ketika bis yang saya tumpangi berhenti di last stop Rantau Panjang, yang sudah dekat sekali dengan Thailand. Hari itu Jumat, 5 Februari 2016, untuk pertama kalinya saya traveling di Malaysia, tanpa membawa paspor, sebab kantor sedang membutuhkannya untuk memperpanjang working permit. Bismillah saja, kata saya dalam hati. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.

Tetapi menumpangi bis malam ternyata menyebabkan masalah lain: saya kedinginan. Sebab saya hanya memakai celana pendek, kaus tipis dan sandal jepit. Saya tidak membawa sarung untuk melawan dinginnya AC, tapi saya membawa handuk. Jadilah saya menyelimuti tubuh saya dengan handuk, sementara penumpang yang duduk di sebelah saya (wanita berjilbab) sudah terlebih dahulu menyelimuti seluruh tubuhnya (termasuk kepala) dan tertidur selama lebih dari 7 jam perjalanan.

Bis Transnasional itu sempat berhenti dua kali (jika saya tidak salah ingat), dan menjelang pemberhentian terakhirnya di Rantau Panjang, seorang berpakaian tentara masuk ke dalam bis, “IC, paspor,” katanya sambil menuju deretan tempat duduk paling belakang. Saya mencoba menenangkan diri, untuk tidak panik, sampai tiba giliran saya untuk ditanya. (Tuhan, lindungi saya).

Bis tiba di Rantau Panjang rupanya tak lama setelah adzan subuh terdengar. Saya masih agak limbung dan mengantuk sebab saya merasa tidak benar-benar tidur sepanjang perjalanan. Saya menemukan sebuah musholla dengan aksara Thailand dan Bahasa Melayu di toiletnya. Saya sholat subuh dan lalu mencari taksi untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Bharu.

Terminal Bis di Kota Bharu. Perhatikan bahwa apapun di sini akan punya aksara arabnya, termasuk nama-nama tempat, bahkan merek produk.


Sopir taksi itu tidak mengatakan apa-apa lagi setelah dia bilang ongkosnya 40 Ringgit (sekitar Rp 130 ribuan). Ia menurunkan saya tak jauh dari Stesen Bas Kota Bharu, lalu saya melanjutkan perjalanan untuk menemukan Timur Guesthouse. Rupanya letak hostel backpacker itu agak tersembunyi sehingga saya mengalami kesulitan untuk menemukannya.

Seorang pria Melayu bernama Mat menyambut saya. Bahasa Inggrisnya impeccable dan itu bisa bermakna capable dalam industri hospitality. Saya sudah booked selama 4 malam di hostelnya via hostelworld, tapi saya bilang kalau saya ingin menginap 2 malam saja, sebab mungkin saya ingin pindah hostel atau melakukan hal yang lain. Saya lalu membayar RM 51, menambah deposit yang sudah saya bayar sebelumnya via online.

Saya lalu meletakkan ransel saya di kamar dan mulai mengeksplor kota ini. Mat sudah membekali saya dengan peta dan menjelaskan kalau Kota Bharu tidak besar, semua tempat yang menarik perhatian turis akan bisa didatangi dalam waktu  6 menit saja. Saya jelaskan bahwa sebenarnya saya ingin snorkeling tapi dia ragu kalau saya akan diizinkan menyeberangi ke Pulau Perhentian sebab cuaca sedang tidak bersahabat.

Tempat pertama yang ingin saya datangi adalah Pasar Siti Khadijah, sebab itu adalah icon Kota Bharu. Hujan turun dan menjadi deras ketika saya tiba di pasar itu. Di sini, hampir semua penjualnya adalah perempuan dan mereka menjual sayuran, ikan-ikan, dan semua keperluan dapur termasuk bumbu-bumbu. Ada juga buah-buahan, dan kue-kue. Setelah saya pikir-pikir, makanan di sini cukup enak-enak dan akan mengingatkan orang Indonesia pada Yogyakarta.

Pasar Siti Khadijah yang iconic itu!


Penjual kue di pasar Siti Khadijah
Saya menguap beberapa kali, jadi saya putuskan untuk kembali ke hostel untuk tidur siang. Saya terbangun jam 3 sore, merasa bersalah karena sudah dua minggu berturut-turut saya skip shalat Jumat...


Wisata Kuliner di Kota Bharu

Gara-garanya saya nggak menyangka ketika sedang jalan-jalan ke Kuching, menemukan kalau makanan di sana enak-enak banget! Lalu saya berharap akan menemukan makanan-makanan yang sama enaknya di Kota Bharu. Makanya, Jumat sore, sambil payungan karena hujan, saya jalan-jalan, bawa peta mencari-cari orang yang jual makanan.

Nah, lalu saya menemukan laksa Kota Bharu ini. Rasanya cukup enak, tapi saya pikir bisa lebih enak lagi sih *banyak maunya ya*.

Laksa Kota Bharu yang berwarna lebih pucat dari laksa-laksa lain di Malaysia
Penjual laksa ini seorang perempuan yang berjilbab, cukup ramah, dan aksennya beda dengan aksen Melayu yang saya biasa dengar di KL. To be honest, saya lebih suka mendengar aksen Melayu di sini, meski saya nggak ngerti mereka ngomong apa. Tapi, itu tetap Bahasa Melayu loh.

Anyway, di tengah hujan gerimis itu, perjalanan saya berlanjut, sampai saya menemukan Kampung Kraftangan,  Muzium Diraja, dan Lapangan Merdeka, yang ada gapura besarnya, tak jauh dari sebuah masjid, yang namanya Masjid Muhammadi. Cukup cantik juga masjid ini dan banyak orang-orang berpenampilan muslim/muslimah di dalamnya. *iyalah. Kelantan memang salah satu state di Malaysia yang menerapkan syariat Islam loh.






Hari sudah mulai sore, tapi saya lanjut jalan ke arah sebuah menara. Ternyata di belakang menara ini ada sungainya lho! Meski nggak secantik sungai di Kuching, sungai ini lebar banget ukurannya. Bahkan saya sempat naik ke atas menara di lantai 6 (tiketnya 2 ringgit) demi melihat sungai itu dari atas ketinggian.

Pemandangan dari menara di tepi Sungai Kelantan


Setelah puas menikmati suasana hujan di sana, saya turun. Sebenarnya seram juga sih, ada di atas menara sendirian, dan sama sekali nggak ada turis lain. Makanya saya putuskan untuk menyusuri sungai sampai menemukan ada restoran-restoran dan kafe yang menjual aneka makanan salah satunya Roti Tempayan.


Didorong oleh rasa penasaran saya masuk ke restoran yang menjual Roti Tempayan itu. Tapi kok setelah menunggu setengah jam, yang dipesan belum datang-datang juga?! Akhirnya saya bilang sama mbaknya untuk cancel aja pesanannya, yah daripada bĂȘte....

Setelah magriban di Masjid Muhammadi, saya cek peta dan menuju ke foodcourt yang kalau kata si peta berlokasi nggak jauh dari masjid itu. Akhirnya setelah jalan kaki selama 10 menit, saya menemukannya! Again, nggak seperti bayangan saya sih, tapi saya putuskan untuk hepi hepi aja, dan mulai mencicipi makanan yang dijual di situ.

Makanan yang bentuknya mirip bacang, tapi isinya ikan.




Ada beberapa makanan yang namanya baru saya dengar saat itu seperti Somtam, nasi air dan makanan yang kayak bakcang, tapi dibakar, dan isinya ikan (nggak tahu namanya apa). Akhirnya saya putuskan untuk coba makan nasi air, yang harganya RM 4. Ohya, harga makanan di sini, sama kayak di Ipoh, alias lebih murah dari standar harga makanan di KL.

Ternyata, nasi air itu sejenis bubur yang dikasuh sup daging dan ditambahin wijen. Nggak bisa dibilang nggak enak sih, tapi nggak istimewa juga. Saya pernah makan yang lebih enak dari ini.

Setelah kenyang, (sebenarnya porsinya sedikit), saya putuskan kembali hostel, tapi muter-muter dulu sebentar, menikmati charming-nya kota ini di waktu malam. Saya juga nyari-nyari kedai kopi yang namanya Kedai Kopi Din Tokyo, setelah membaca turis asing menulis tentang kedap kopi ini di blognya. Tapi ternyata udah tutup juga!

Kedai Kopi Din Tokyo ini berlokasi di Jalan Tok Hakim, nggak jauh juga dari stesen bas, dan Pasar Siti Khadijah. Orang-orang memang biasanya datang saat sarapan dan bukan menjelang tengah malam, seperti yang saya lakukan semalam sebelumnya.

Ketika saya datang ke sana besoknya, saya pesan telur rebus dan cakue, minumnya Teh Tarik. Semuanya 5 ringgit saja! Pak Din nggak sendirian, dia dibantu sama anak istrinya melayani pengunjung pagi itu. Katanya sih, tempat ini memang nggak pernah sepi, apalagi Pak Din-nya sendiri sangat ramah. Ia terus saja mengajak ngobrol orang-orang yang datang, meskipun tidak semua mengerti apa yang dia katakan. Contohnya, “Sebale” itu artinya “sebelas”. Bayangkan seperti apa kata-kata yang lainnya. Beda banget kan…

Sarapan di Kedai Kopi Din Tokyo

Hari Minggu di Kuala Besut

Kota Bharu adalah ibukota negara bagian Kelantan. Masyarakatnya menyebut Kelantan sebagai Kelate. Ke-la-te. Tapi tidak jauh dari Kota Bharu, ada pulau terkenal yang konon bagus banget yang namanya Pulau Perhentian Besar dan Pulau Perhentian Kecil, yang termasuk dalam negara bagian Terengganu, dan untuk kesana saya harus naik perahu dari Kuala Besut.

Mat sebenarnya udah bilang kalau mungkin aja jeti di Kuala Besut ditutup karena faktor cuaca, jadi nggak ada yang bisa menyeberang ke Pulau Perhentian. Tapi saya teteup keukeuh mau kesana, bahkan bilang sama Mat kalau saya ubah arrangement stay saya di hostel, malam kedua akan menjadi malam Selasa, tapi dia bilang jam checkout sudah lewat! Sigh, akhirnya saya bilang padanya, saya akan kembali ke Kota Bharu hari Senin, dan akan stay di dorm saja. Terpaksa saya harus bayar 15 RM!

Akhirnya saya jalan ke terminal bis dan menunggu bis Cityliner untuk menuju ke Kuala Besut. Saya sudah booking 1 malam via Agoda untuk stay di sebuah hostel namanya Yaudin Guesthouse.

Video: Perjalanan menuju Kuala Besut :)

Bis dijadwalkan berangkat pukul 17.30 tapi baru mulai kelihatan nongol pukul 18.00! Akhirnya saya tiba di Kuala Besut setelah lewat jam 8 malam dan langsung mencari yang namanya Yaudin. Nggak susah sih nyarinya, karena hostel di Kuala Besut nggak banyak dan Yaudin terletak di lantai 2 terminal itu. Kondisi hotelnya ya gitu deh, dindingnya triplek aja, dan pintunya juga pake gembok! Tapi lumayanlah, bayar 25 RM tapi bisa dapat kamar privat.
Terminal Kuala Besut

Kamar hostel saya di Kuala Besut. :p

Salah satu tempat makan di Kuala Besut


Kuala Besut sendiri kota pesisir kecil banget, yang nyaris nggak punya apa-apa selain terminal bis, jeti sama rumah-rumah penduduk yang bisa dihitung dalam sehari.

Tapi, ada beberapa spot di sini yang artistik khas orang-orang yang tinggal di pesisir. Makanan? Saya suka makan mi sup ayam kampungnya!

This is so good!

Malam di Kuala Besut yang sepi dan berangin kencang

Perahu yang bersandar di dermaga Kuala Besut

Pemberlakukan syariat Islam bisa dilihat pada spanduk ini.


Besoknya, saya kecewa berat, karena hujan masih aja turun, dan jeti ditutup! Nggak boleh ada aktifitas ke laut, jadi saya nggak bisa snorkeling dan stay di Pulau Perhentian! Saya berjalan tak tentu arah di sekitar terminal dan melihat banyak turis yang juga resah seperti saya. Sama-sama gigit jari, Bayangan seru-seruan snorkeling seperti waktu di Kota Kinabalu, Lombok dan Bali mulai buyar. Goodbye Pulau Perhentian!

Di saat-saat jalan nggak tentu arah itu, ada peta yang menyelamatkan saya. Bagusnya peta-peta di Malaysia, semua disertai dengan gambar-gambar tourist attraction di sekitarnya lengkap dengan cara menuju ke sana (rute, bis, dan lain-lain). Akhirnya saya memutuskan untuk datangin air terjun sama hot spring.

Saya lalu tanya sana sini, termasuk ke mbak-mbak tour operator yang lagi nenangin orang-orang yang gagal ke Pulau Perhentian. Dia bilang, nggak ada bis untuk pergi ke air terjun, jadi harus pake taksi. Wah kebayang pasti mahal deh!

Seorang sopir taksi mendekati saya yang lagi bingung. Saya menunjuk gambar yang ada di peta, yang adalah Air Terjun Lata Tembakah dan LA Hot Springs (dibacanya “La”, bukan El-A). Dia bilang dia bisa anter dengan ongkos RM 100 pp!

Saya mencoba menawar jadi RM 80, tapi sopir taksi yang sebenarnya ramah itu menggeleng. No, katanya. Akhirnya saya bilang oke, 100 ringgit asal pulangnya bisa mampir ke pantai Bukit Keluang yang kalau di gambar, kelihatann keren banget.

Akhirnya dia setuju!

Special Customer

Tetapi ada masalah lain. Ketika tiba di Hutan Lipur dimana Air Terjun Lata Tembakah berada, kami tidak menemukan siapapun di sana, kelihatannya hutan itu sedang ditutup, bahkan lapak-lapak makanan yang seharusnya ramai oleh penjual dan pembeli juga tidak menampakkan ada tanda-tanda kehidupan.






Sopir taksi (yang awalnya menyangka saya orang Singapore), mencoba menelepon ke sebuah nomer yang tertera di loket, tapi tidak tersambung. Sampai akhirnya 10 menit kemudian, muncul seorang pria melayu yang sepertinya karyawan Departemen Kehutanan dan penjaga hutan tersebut. Sopir taksi menghampiri orang itu yang bilang kalau hutan ini memang ditutup karena debit air sedang besar sehingga dikhawatirkan akan membahayakan pengunjung.

Tetapi, saya tidak tahu apa yang dikatakan sopir taksi pada pria itu, sampai kemudian sopir taksi bilang saya diperbolehkan masuk! Mungkin dia pikir, ngapain nih orang Indonesia jauh-jauh datang ke hutan Malaysia? Hehehe…

Bahkan ketika berdatangan beberapa anak-anak muda yang kelihatannya ingin masuk ke hutan itu, sopir taksi itu bilang saya dibolehkan masuk, tapi harus menunggu mereka pergi dulu. “You are special customer,” katanya. Saya bersorak dalam hati, karena bahkan saya nggak dimintain tiket masuk yang seharusnya 3 ringgit perorang.

Sopir taksi lalu menemani saya menelusuri hutan lebat itu. Untung saja hujannya tidak deras, hanya gerimis yang tidak sempat membuat basah kuyup karena saya dipayungi pohon-pohon yang rimbun. Kami terus berjalan sekitar 45 menit, yang terasa semakin menanjak. Hutan itu sedikit gelap, sebab tidak ada matahari dan hari sedang hujan. Mistis.

Sampai kemudian kami berhenti ketika memang sudah tidak ada jalan setapak untuk dilalui lagi dan saya melihat air terjun yang arusnya begitu deras dan bergemuruh. Jujur aja, hati saya jadi ikut bergemuruh, tapi saat itu, untuk pertama kalinya dalam perjalanan ini, saya merasakan sebuah inner peace.

Saya beristirahat sejenak sementara sopir taksi juga ikut-ikutan mengagumi keindahan air terjun itu.

Kalau arusnya tidak sedang kencang, ingin rasanya saya menceburkan diri di aliran air terjun itu.

Video: Air Terjun yang gemuruhnya menggetarkan!


Dari tempat itu, sopir taksi membawa saya ke La Hot Springs. Jaraknya sekitar 45 menit dari Hutan Lipur. Pada saat saya datang ke sana, banyak orang yang sedang mandi di sungai, mengingatkan saya pada gambar-gambar dari Sungai Gangga.

Ada beberapa water cluster di sana dan saya mencoba yang airnya paling panas. Saya melepaskan pakaian saya dan hanya mengenakan celana renang, lalu bergabung dengan orang-orang yang sedang berendam. Oh, this is nice. Ini yang saya butuhkan  setelah banyak sekali berjalan kaki di hari-hari sebelumnya.
La Hot Springs




Tidak sampai satu jam saya berada di tempat ini. Saya lalu berganti baju, tanpa sempat mandi, dan lalu meminta sopir taksi membawa saya ke pantai sekaligus pulang.

Tapi tidak ada yang istimewa di Pantai Bukit Keluang. Tidak jelek, tapi tidak membuat saya ingin berlama-lama di sana. Saya malah lebih tertarik membeli pisang goreng yang banyak dijual di sana.

Pantai Bukit Keluang



Setelah itu, saya memutuskan untuk kembali ke Yaudin, keluyuran, makan malam dan tidur.

Kembali ke Kota Bharu


Selamat datang (kembali) di Kota Bharu
Saya tiba kembali di Kota Bharu dari Kuala Besut sekita jam 1 siang. Saya menimbang-nimbang untuk mencari hostel lain yang lebih dekat dengan stesen bus, ketimbang kembali ke Timur Guesthouse, tetapi hostel di sekitar stesen bus rata-rata bertarif lebih dari RM 70 permalam. Sebenarnya ada KB Backpacker House yang dorm-nya sekitar RM 20, tapi itu tetap lebih mahal dari Timur Guesthouse. Buat seorang backpacker seperti saya, selisih 5 ringgit itu besar juga lho!

Kue-kue yang sungguh enaaaaak!
Saya menghabiskan malam terakhir di Kota Bharu dengan mencari makanan, sampai saya menemukan penjual kue-kue yang enak di tempat yang sama yang menjual laksa di hari pertama saya datang ke Kota Bharu. Dinner-nya saya ikutan antri Nasi Kukus Ayam Berempah, yang lagi-lagi penjualnya mengira saya orang Singapore. Seriously, what’s in me that makes me looked like a Singaporean?

Ngantri Nasi Kukus
Di tempat ini, saya disangka orang Singapore! :D
Ketika hari menjelang malam, saya kembali ke Kedai Kopi Din Tokyo, lalu memesan minuman andalan mereka, Halia Telur Puyuh. Ini adalah minuman air jahe panas yang dicampur dengan telur puyuh mentah. Rasanya cukup enak, dan konon bisa menambah energi bagi kaum pria.


Halia Telur Puyuh dan pembuatnya :)

Setelah itu saya pulang ke hostel. Esok pagi, bis dari Kota Bharu akan berangkat jam 9.45 ke Penang. Perjalanan ini jika dilihat di peta akan seperti memotong semenanjung Malaysia, melintasi dua negara bagian lain yaitu Perak dan Kedah dan seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 5 jam 26 menit menurut Google Maps.

Di perjalanan selama lebih dari 7 jam itu, saya tidak ingat melakukan apa. Mungkin saya tertidur, tapi yang jelas saya merasa sangat bersyukur telah melakukan perjalanan-perjalanan ini dan menikmati mukjizat-mukjizat kecil yang selalu ada dimana-mana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar