Senin, 14 Februari 2011

Menikmati Tabrakan Budaya-budaya dalam Sex And the City 2




Tante Samantha, ditahan di Abu Dhabi, karena berciuman di depan umum dengan pria Denmark yang disebutnya “Lawrence of My Labia”. Bersama Samantha, ada Charlotte, Miranda, dan tentu saja Carrie yang dimanapun mereka berada tetap meruapkan aura New York yang seksi dan liar. Di gurun pasir sekalipun.


Budaya bersifat kontekstual, tapi tidak demikian halnya dengan apa yang ada dalam pikiran Tante Samantha. Meski berada di negara dengan kultur konservatif yang kuat, ia tetap seorang Samantha Jones dengan dunianya yang bebas, liberal, dan menempatkan seks hampir diatas segalanya.
Ia, misalnya dengan berani menggoda laki-laki di muka umum, di hadapan pasangan arab dengan pakaian muslim tradisional yang lalu menunjuk-nunjuk ke arahnya. Merasa tidak nyaman, ia dan pria bernama Rikard Spirt (Samantha menyebutnya “Dick Spirt”) melanjutkan adegan itu di pantai, sampai kemudian polisi susila menangkapnya.
“It's just a kiss,” kata Samantha. Dan kita tahu, “hanya ciuman” tak pernah cukup baginya. Jadi ketika polisi menemukan kondom terselip dalam paspornya, semestinya itu bukan hal yang mengejutkan. Bukan itu saja, Samantha tetap tidak bisa menanggalkan kebiasaannya mengenakan pakaian mini, termasuk di kolam renang. “Samantha, cover ur body!”, tegur Miranda. Katanya, ini kan di kolam renang, “what do you expect?”. Selanjutnya ia melihat wanita-wanita yang bersantai sambil berjemur. Semuanya memakai pakaian tertutup kecuali wajah.
Adegan menarik lain adalah ketika Samantha dengan gaun mininya, didorong-dorong oleh sekawanan pria arab, yang menunjuk-nunjuknya seperti menunjuk pendosa. Mereka diselamatkan oleh para wanita bercadar—yang ternyata dibalik pakaian serba hitam itu, memakai gaun-gaun seksi (siapa yang sangka?).
Selanjutnya, yang menurut saya adalah puncak tabrakan budaya dalam film ini adalah ketika Carrie, Miranda, Charlotte dan Samantha masing-masing mengenakan pakaian hitam serba tertutup untuk mengelabui orang-orang yang mengejar mereka. Bayangkan pribadi-pribadi yang senantiasa mengutamakan diferensiasi fashion masing-masing, terjebak dalam atribut yang sama sekali bukan mereka. dan fashion pula yang mendobrak homogenitas itu. Mereka tidak dapat saling mengenal diantara satu sama lain dalam busana itu. “Kemana Charlotte?” “Cari yang memakai sepatu ungu”.


Ke-empat sahabat terbang ke Abu Dhabi dalam sebuah perjalanan yang awalnya adalah bisnis. Disana tidak hanya benturan budaya yang mereka alami, tapi film ini mempertegas kembali atau redetailing karakter mereka. Carrie—yang di paruh pertama film, mengendus adanya sesuatu yang salah dalam hubungannya dengan suami, secara tidak sengaja bertemu dengan mantan pacarnya di sebuah pasar tradisional.
Sementara Charlotte sibuk dengan perasaan bersalahnya meninggalkan suami dan kedua anaknya, dan Miranda menemukan jalan keluar dari aktualisasi pribadinya ketika ia melihat wanita yang mengenakan cadar—yang begitu susah payah hanya untuk makan sepotong chips.
Empat perempuan yang tidak bisa disebut muda lagi itu, berkutat dalam kegersangan batin masing-masing—Michael Patrick King menuliskannya dengan ringan, namun tetap mampu mempertahankan bobot yang tepat seperti ketika Carrie menyelipkan uang untuk pelayan hotel—agar pria itu bisa menjumpai istrinya di India.
Tetapi bagian menarik dalam film ini memang ketika mereka di negara Timur Tengah itu. Melalui petualangan eksotis para empat tokohnya, film ini mengalir secara cerdas, liar, dan menyenangkan. Penonton akan lupa kalau paruh pertama filmnya bersetting di Big Apple: New York.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar