Jumat, 18 Februari 2011

The Cheongsam Obsession

Aku tidak dapat mengartikan sorot mata ibuku, ketika ia menatapku sedang berdiri di depan cermin dan mengagumi pantulan diriku sendiri dalam cheongsam. Kelihatannya ia marah, tapi ia lebih seperti kecewa, mungkin karena aku memakai sesuatu miliknya tanpa izin.

Aku segera melepas cheongsam berwarna biru yang sudah memudar itu, dan dengan berjingkat-jingkat keluar kamar, tanpa berani menatap sorot mata ibu. Namun ketika aku melewatinya, tubuhku didorong sehingga terjatuh dan menimpa keranjang berisi baju-baju kotor yang belum dicuci. Ibu lalu keluar begitu saja, dan aku ingin memeluknya, dan meminta maaf.

Tapi, aku tak lantas lupa pada cheongsam. Aku memikirkannya. Siang dan malam. Di sekolah. Di jalan. Di kamar. Di angkot. Di busway. Bahkan ketika aku sedang naik ojek. Obsesi yang sudah menjadi mimpi bertahun-tahun, ketika pada usia lima tahun aku melihat baba memberikan angpau pada kakakku pada saat imlek.

Namun, ini bukan cerita tentang angpau, atau lontong cap go meh, tapi tentang cheongsam. Baba menghadiahkan kakakku cheongsam berwarna merah yang seperti memeluk tubuhnya. Itu adalah gaun one piece yang indah, dan aku hanya bisa melihat iri ketika baba berdiri di belakang kakakku dan keduanya tersenyum. Baba tersenyum. Kakakku tersenyum. Aku manyun. Aku ingin cantik seperti kakakku.

Bertahun-tahun kemudian, aku menonton In The Mood For Love dan bayangan kakakku yang anggun mengenakan cheongsam sambil makan lontong cap go meh mulai memudar. Ia tergantikan oleh Maggie Cheung. Sampai saat ini, tidak ada yang bisa menandingi dia sebagai wanita paling cantik yang pernah mengenakan cheongsam. Aku tumbuh dalam imajinasi menjadi wanita cantrik yang mengenakan cheongsam, lalu pergi merayakan xin chia bersama pangeran pujaan. Hanya makan malam sederhana sudah membuatku senang.

Sepertinya cheongsam hanya akan menjadi mimpi, atau obsesi. Tidak bisa tidak. Aku merasa aku tidak akan pernah bisa mengenakannya, sebahagia apapun perasaanku nanti ketika bisa mengenakannya.

“Tetapi, apakah bahagia itu paling penting?” tanyaku pada Mei, sahabatku.
Mei menyayangiku, tapi sorot matanya seperti sorot mata ibu. Ia berkata, “bukan bahagia, tapi menjadi diri sendirilah yang terpenting.”
Aku tidak mengerti, Mei. “Aku belum genap 17 tahun.”

Tapi, akhirnya aku kembali ke rumah dan aku ingin minta kado istimewa dari baba dan ibu menjelang ulang tahunku nanti. Apalagi kalau bukan cheongsam.

“Ibu, aku ingin cheongsam.”
Ibu lalu menampar pipiku. Aku menangis. Tapi aku tidak peduli. Aku ingin cheongsam. Titik.

Ibu bilang nggak boleh. Tidak akan pernah diizinkan. Tidak dalam satu abadpun.

Aku ingin cheongsam!
Plak!!!

Tapi kenapa, bu?

Ibu menatapku, Ia tidak marah, tapi lebih seperti orang terluka.

Mengapa bu?

“Karena kamu...laki-laki.”
Aku terdiam. aku tahu aku akan dihadapkan pada kenyataan ini, tapi aku tidak merasa kalau sekaranglah waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar