Rabu, 28 Desember 2011

Asian Gastrodiplomacy: To Taste Us is To Love Us!




Di beberapa negara di Asia, kesadaran akan pentingnya Gastrodiplomacy sebagai elemen penting destination branding telah muncul sejak satu dasawarsa yang lalu. Negara seperti Thailand, Korea, Singapura dan Taiwan sudah memiliki program yang khusus dibuat untuk memperkenalkan kekutan kulinernya kepada dunia.








Pearl Milk Tea adalah minuman yang sangat terkenal di kalangan remaja di Amerika Serikat. Minuman ini juga dikenal sebagai ‘boba’ atau bubble tea. Boba mudah ditemui di mal manapun di negara tersebut bahkan menjadi bagian dari budaya pop. Seorang penulis graphic novel berjudul “American Born Chinese” bahkan memasukkan adegan dua remaja menikmati boba di dalam karyanya.


Namun, meski sangat terkenal, tidak banyak yang tahu bahwa boba berasal dari sebuah negara Asia, tepatnya Taiwan. “The sad reality is that most American teenagers are very familiar with bubble tea from their ubiquity at shopping malls than the country that invented the balls of gooey fun,” kata Paul Rockower, seorang gastronomist. Menurut Rockower, mengkaitkan boba dengan Taiwan adalah salah satu dari pekerjaan rumah yang harus dibereskan Taiwan sebagai bagian dari strategi gastrodiplomacy yang sedang dilakukan negara tersebut.


Taiwan, menurut Rockower memang sedang gencar mempromosikan kekuatan kulinernya. “Sampai dengan tahun 2013, negara tersebut menginvestasikan dana senilai 34,2 juta dollar AS sebagai anggaran diplomasi kuliner,” kata Rockower pada sebuah situs. Diplomasi kuliner Taiwan, kata Rockower, termasuk penyelenggaraan festival gourmet internasional di Taiwan, dan mengirim chef mereka ke berbagai kompetisi kuliner internasional. “Selain itu, Taiwan akan memperkenalkan restorannya ke seluruh dunia, mendirikan restoran tersebut di mal dan sampling di beberapa bandara internasional,” jelas Rockower.



Rockower sangat yakin Taiwan memiliki potensi sebagai surga makanan lezat dunia. “Makanan Taiwan memiliki karakter rasa yang unik karena berakar dari China, dan dipengaruhi cita rasa dari Jepang—yang pernah menduduki Taiwan, selain berasal dari elemen Hakka dan unsur pribumi lain,” jelas Rockower. Salah satu makanan eksotik dari Taiwan, menurut Rockower adalah stinky tofu.

Menurut Rockower, Taiwan sangat serius mempromosikan kekuatan kulinernya, sehingga negara tersebut mendirikan yayasan khusus untuk mendukung makanan Taiwan. “Yayasan tersebut didirikan untuk mendukung restoran dan coffe shop yang mempromosikan makanan Taiwan di luar negeri,” katanya. Salah satu coffee shop yang terkenal dari Taiwan adalah Coffe Store 85C, yang membuat pelanggan AS mengantri untuk minuman berjenis iced-sea salt latte.



Selain Taiwan, menurut Rockower, salah satu negara asia yang sangat serius mempromosikan kekuatan kulinernya adalah Thailand. “Gastrodiplomacy was a technique perfected by Thailand, which first used its kitchens and restaurants as outposts of cultural diplomacy,” jelas Rockower. Rockower mencatat restoran Thailand adalah salah satu restoran dengan pertumbuhan popularitas tercepat di dunia. “Semua itu terjadi karena sejak tahun 2001, pemerintah Thailand meluncurkan “Global Thai Program” yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah restoran Thailand di seluruh dunia,” katanya.



Menurut Rockower, pemerintah Thailand sangat yakin bahwa kekuatan kuliner negara tersebut harus ditunjang dengan banyaknya restoran Thailand. “Banyaknya jumlah restoran Thailand tidak hanya untuk memperkenalkan makanan Thailand yang pedas nikmat kepada konsumen baru dan mengundang banyak turis berkunjung ke Thailand, tapi juga memperdalam hubungan Thailand dengan negara-negara lain,” kata Rockower mengutip otoritas pemerintah Thailand yang dimuat di The Economist.






Sementara itu, agresifitas Singapura untuk mempromosikan diri sebagai ibu kota kuliner dunia ditunjukkan dengan pembentukan SPICE atau Singapore International Culinary Exchange. “Spice bertujuan untuk memperkenalkan 15 makanan singapura kepada 9 kota di seluruh dunia, disertai dengan 9 chef, dalam perjalanan selama satu tahun penuh,” kata Rockower. Spice, jelas Rockower mengunjungi London, Paris, Moskow, New York, Hong Kong, Shanghai, New Delhi, Dubai dan Sydney, dengan misi untuk mempromosikan positioning negara tersebut sebagai pusat kuliner yang paling inovatif. “Di tiap kota tersebut, chef dari Singapura bekerja sama dengan chef lokal dalam 3 hari event,” kata Rockower.

Menariknya, roadshow untuk memperkenalkan makanan khas negara pulau tersebut memanfaatkan mobile pop up kitchen, yang bisa dibawa kemana-mana, yang disebut sebagai Singapore Take Out. Pada September lalu, Singapore Take Out mengunjungi New York. Sebagaimana diberitakan Channelnewsasia.com, beragam makanan diperkenalkan kepada warga The Big Apple termasuk laksa, short ribs, pork buns dan buah keluak.


Malcolm Lee, chef Singapura dengan spesialisasi masakan peranakan dalam roadshow tersebut bekerja sama dengan chef terkenal di New York. Beberapa diantara chef terkenal tersebut adalah Anthony Ricco, Dominique Ansel dan chef terkenal, Ed Cotton, yang terinspirasi untuk menciptakan resep baru dari masakan-masakan khas Singapura. “Saya akan membuat rivoli dari chilli crab dan mie yang dikenal sebagai char kway teow,” kata Cotton.


Sementara itu, CEO Singapore Toursm Board, Aw Kah Peng mengatakan bahwa kerja sama dengan chef lokal adalah elemen penting dalam gastrodiplomacy Singapura. “Melalui kerjasama dengan chef lokal kami ingin menciptakan resep-resep baru yang terinspirasi dari makanan khas Singapura, dan menunjukkan diversitasnya, selain keajaiban-keajaiban yang bisa tercipta dari perpaduan chef kami dan chef lokal,” kata Peng.


Seperti Singapura,  Korea juga giat memperkenalkan kekayaan kulinernya dengan aktif berkeliling dunia melalui aktifitas yang kerap disebut sebagai ‘The Kimchi Diplomacy’. Pada tahun 2009, Kim Yoon-ok, istri Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, memulai diplomasi ini dengan memasak bersama chef AS dengan mengundang para veteran Perang Korea di negara tersebut, sebagai audience. “Saya ingin memperkenalkan cita rasa Korea baru yang positif dan lezat, yang mungkin tidak sempat mereka ketahui ketika terlibat perang,” kata Kim kepada The New York Times.


Begitu seriusnya pemerintah Korea dalam mempromosikan  kuliner negaranya, sehingga Korea bahkan menargetkan untuk masuk ke dalam Top 5 kuliner dunia pada tahun 2017. Sebuah sumber menyebutkan bahwa Korea tengah gencar memperkenalkan bibimpap dan bulgogi agar bisa bersaing dengan makanan khas Asia lain, seperti sushi. Selain itu, sejumlah dana juga digelontorkan termasuk beasiswa bagi mahasiswa Korea untuk mempelajari dunia kuliner.


Lebih jauh, sejumlah penelitian dan pengembangan terhadap makanan juga dilakukan, termasuk festival yang khusus mengangkat makanan tertentu misalnya Tteokbokki, semacam kue beras. Kampanye ini, sebagaimana ditulis oleh NYTimes juga berusaha untuk meluruskan opini publik terhadap cita rasa Korea. Selama bertahun-tahun, makanan asli Korea terlanjur melekat dengan citra terlalu pedas, terlalu banyak bawang putih dan terlalu asam. Contohnya adalah Kimchi, yang aromanya sangat kuat.

Menariknya, kebanggaan terhadap makanan asli negaranya juga diikuti oleh kesadaran warga Korea sendiri untuk lebih banyak menyajikan makanan lokal. “Setelah perang, Korea terjangkit wabah makanan barat, tapi kini banyak restoran mahal di Korea yang kembali gencar mempromosikan makanan khasnya sendiri, bahkan termasuk cara pembuatannya,” tulis NYTimes.

(artikel ini dimuat di Majalah MIX- Marketing Communication edisi Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar