Yesus datang dalam mimpinya. Wajah-Nya persis seperti yang ia lihat dalam lukisan-lukisan dengan mata teduh dan rambut-Nya yang gondrong.
Pada
mimpinya yang pertama, ia melihat Yesus turun dari langit dan berkata kalau Ia kecewa
padanya. Saat itu, ia masih seorang Khonghucu meski bersekolah di sekolah
Kristen.
Yesus
datang kembali dalam mimpinya yang kedua, dan berkata, “kamu akan masuk ke
padang gurun selama 40 hari.”
Saat mendengar kisah ini, gue antara percaya nggak
percaya, tapi gue akhirnya memilih untuk percaya dan lalu bersyukur kalau hal
ini tidak terjadi sama gue. Sebab gue yakin nggak bakalan tahan berada di
padang gurun selama 40 hari.
Tapi, 40 hari di sini ternyata adalah konsep yang
abstrak. 40 hari seperti yang dikatakan Yesus dalam mimpinya bukan berarti 40
hari dalam pengertian yang kita kenal. Bukan satu bulan dan 10 hari, tapi bisa
jadi 40 minggu, 40 bulan, atau 40 tahun.
Gue bertemu dengan ekspat yang satu ini saat dia
sudah berada di KL selama lebih dari 4 tahun. Ialah yang mimpi bertemu Yesus 2
kali, yang diartikannya untuk bertahan di Malaysia. Baginya, padang gurun itu adalah Malaysia, dan ia tidak akan
kemana-mana sampai Yesus datang kembali dalam mimpinya dan mengatakan kalau 40
harinya sudah rampung. Ia sedang menunggu pertanda itu.
Tanpa sengaja gue bertemu dengan Pak Roni, sebut
saja begitu. Waktu itu gue sebenarnya janjian untuk ketemu sama seorang TKW di
acara workshop menulis yang diadakan seorang penulis Indonesia di sebuah
restoran Indonesia di pusat kota KL, dekat Pasar Seni. Roni adalah manager
restoran tersebut.
Di acara ramah tamah setelah workshop kelar, gue
ngobrol-ngobrol sama dia, dan ceritanya yang panjang mengalir begitu saja.
Tanpa terasa kami sudah ngobrol selama hampir dua jam! Gue yakin dia udah cukup
lama menunggu kesempatan untuk curhat, dan begitu ia menemukan orang yang
menurutnya bisa dipercaya, ceritanya mengalir deras seperti air dalam keran
yang telah lama tersumbat.
Roni adalah sang country manager untuk restoran
Indonesia yang punya cabang di Malaysia ini. Kerjaannya bejibun. Roni bilang,
“saya dijadiin bahan lawakan sama anak-anak buah saya, karena saya ngerjain
semuanya sendirian.”
Roni terpaksa menjadi one man show. Dia menjadi
perpanjangan tangan dari Jakarta dan meng-handle finance, ops, sampai marketing
restoran itu.
Ini termasuk memimpin karyawannya yang semuanya
orang Malaysia. Ada kalanya tingkat turn over karyawannya sangat tinggi. Juga
pernah ada yang bilang kalau mereka malu bekerja di restoran kepunyaan orang
Indonesia.
Selama lebih dari empat tahun, apa yang diyakininya
sebagai padang gurun seolah mengejawantah. Padang gurunnya benar-benar gersang,
kering dan menyengat. Hidup seolah sedang berkomplot untuk mengujinya dengan
beragam cara.
Roni pernah diperkarakan dan harus maju ke
pengadilan karena dianggap tidak membayar gaji overtime dan pesangon mantan
karyawannya, sesuai dengan aturan yang seharusnya.
Ia juga dengan nekat bekerja hanya dengan bermodal
visa turis. Usahanya membuat working permit sangat problematik. Akibatnya dalam
empat tahun terakhir ia harus keluar Malaysia sebulan sekali agar tidak
overstay, ketahuan polisi imigrasi, dipenjara dan lalu dideportasi.
Gajinya, katanya, juga tidak sepadan dengan
tanggung jawabnya. Banyak yang menyangka gajinya besar, tapi nyatanya ia harus
naik bis setiap hari untuk menghemat pengeluaran. Boro-boro main golf, berenang
di apartemennya saja ia nggak sempat. “Hidup saya hanya untuk bekerja,” katanya
tanpa bermaksud melebih-lebihkan.
Setelah restoran tutup, sekitar jam 9 malam ia
kembali ke apartemennya di daerah Subang Jaya dengan menumpang bis. Perjalanan
memakan waktu kurang lebih satu setengah jam, dan sering kali ia
terkantuk-kantuk di bis, atau mengalami kejadian-kejadian yang kurang menyenangkan,
misalnya dikuntit seorang bule mencurigakan.
Di malam harinya, Roni masih harus membuka laptop,
untuk membereskan pembukuan. Lepas jam 1
malam, dia baru akan tertidur.
Saat bangun pagi sekita jam 8, bumbu-bumbu masak
sudah menunggunya. Ia lalu melakukan pengecekan ke dapur, dan sekitar jam 12 siang ia baru akan
berangkat ke restoran.
Begitu setiap hari. Selama 4 tahun.
Gue nggak tega untuk nanya apa dia pernah merasa
bosan? Atau nggak hepi? Atau diam-diam depresi?
“Tapi pak, bapak sadar nggak kalau lagi dizhalimi?”
gue mencoba memprovokasi. Tidak mungkin ada yang bisa mengerjakan pekerjaan
sekompleks ini sendirian! Batman aja dibantuin Robin. Atau mungkin ia sebenarnya
adalah seorang Superman, minus celana dalam merah?
Ia bilang, pernah sih ada orang lokal yang bantuin
dia, tapi orang tersebut malah menghancurkan apa yang sudah dibangunnya selama
bertahun-tahun. Yang bikin sakit hati, Jakarta menggaji orang lokal tersebut
jauh lebih besar. “Gajinya setahun jauh lebih besar dibandingkan gaji saya
selama 3 tahun.”
“Pernah nggak bapak bertanya pada Tuhan, apa sudah
boleh pergi?” gue tetap belum puas.
Pernah, katanya. Setelah bertanya demikian, jawaban
itu datang dalam bentuk permohonan sponsorship yang diajukan mahasiswa
Indonesia di salah satu universitas swasta di KL. Roni menganggapnya sebagai
isyarat untuk bertahan. Bahwa ia belum boleh meninggalkan padang gurunnya.
“Jadi kira-kira kapan Yesus datang dalam mimpi
bapak dan bolehin bapak pergi?” tanya gue lagi. Ia menggeleng tidak tahu. Lalu
guepun pergi dengan membawa satu lagi kisah yang gue nggak nyangka bisa temukan
di Kuala Lumpur atau dimanapun di dunia ini.
Dan pertanyaan tersebut menjadi awal dari sebuah
perenungan.
Di tengah kerasnya perjuangan gue di sini, there he comes, pria yang tanpa sengaja
gue temuin, dan dengan cara yang ajaib gue bisa mendengar kisahnya.
Gue pernah dengar ada orang bertapa, puasa senin
kamis, mandi kembang, dan berendam di sungai untuk menjalani sebuah laku
tertentu. Semua dijabanin dalam rangka misi tertentu, misalnya pengen kaya,
pengen sakti, atau pengen dapat jodoh.
Beberapa tahun yang lalu, gue pernah membaca novel
berjudul “Pergilah Ke Mana Hati Membawamu” karya penulis Italia, Susanna
Tamaro. Kisahnya tentang seorang nenek sekarat yang ditinggal cucunya pergi
sehingga harus hidup sendirian. Nenek itu lalu mengirimkan surat-surat untuk
cucunya yang berisi wejangan-wejangan bijak untuk menjalani kehidupan, dan
terakhirnya si nenek bilang, “lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah
ke mana hati membawamu.”
Jika bercermin pada panggilan yang didengar Pak
Roni, gue jadi sadar kalau ada hal-hal di luar suara hati yang membuat
seseorang melakukan apa yang dilakukannya. Ini adalah keyakinan, dan keyakinan
itu menjelma Yesus yang hadir dalam mimpinya.
Tapi, apakah hati yang membawa gue ke Malaysia?
Apakah hati jugalah yang membuat gue tetap berada
di sini? Gue belum menemukan jawabannya.
Setidaknya, hari itu gue menemukan satu lagi alasan
untuk bersyukur betapapun beratnya hidup gue sekarang. Bahwa gue selalu bisa
pergi, tanpa perlu menunggu Yesus datang dalam mimpi gue.
dimana hatimu berada, disitulah ada hartamu....pertanyaannya apakah lo ada hati ? :)
BalasHapus