Senin, 11 Januari 2016

Ketika Panggilan Itu Datang


Yesus datang dalam mimpinya. Wajah-Nya persis seperti yang ia lihat dalam lukisan-lukisan dengan mata teduh dan rambut-Nya yang gondrong.

Pada mimpinya yang pertama, ia melihat Yesus turun dari langit dan berkata kalau Ia kecewa padanya. Saat itu, ia masih seorang Khonghucu meski bersekolah di sekolah Kristen.

Yesus datang kembali dalam mimpinya yang kedua, dan berkata, “kamu akan masuk ke padang gurun selama 40 hari.”

Saat mendengar kisah ini, gue antara percaya nggak percaya, tapi gue akhirnya memilih untuk percaya dan lalu bersyukur kalau hal ini tidak terjadi sama gue. Sebab gue yakin nggak bakalan tahan berada di padang gurun selama 40 hari.

Tapi, 40 hari di sini ternyata adalah konsep yang abstrak. 40 hari seperti yang dikatakan Yesus dalam mimpinya bukan berarti 40 hari dalam pengertian yang kita kenal. Bukan satu bulan dan 10 hari, tapi bisa jadi 40 minggu, 40 bulan, atau 40 tahun.

Gue bertemu dengan ekspat yang satu ini saat dia sudah berada di KL selama lebih dari 4 tahun. Ialah yang mimpi bertemu Yesus 2 kali, yang diartikannya untuk bertahan di Malaysia. Baginya, padang gurun itu adalah Malaysia, dan ia tidak akan kemana-mana sampai Yesus datang kembali dalam mimpinya dan mengatakan kalau 40 harinya sudah rampung. Ia sedang menunggu pertanda itu.

Tanpa sengaja gue bertemu dengan Pak Roni, sebut saja begitu. Waktu itu gue sebenarnya janjian untuk ketemu sama seorang TKW di acara workshop menulis yang diadakan seorang penulis Indonesia di sebuah restoran Indonesia di pusat kota KL, dekat Pasar Seni. Roni adalah manager restoran tersebut.

Di acara ramah tamah setelah workshop kelar, gue ngobrol-ngobrol sama dia, dan ceritanya yang panjang mengalir begitu saja. Tanpa terasa kami sudah ngobrol selama hampir dua jam! Gue yakin dia udah cukup lama menunggu kesempatan untuk curhat, dan begitu ia menemukan orang yang menurutnya bisa dipercaya, ceritanya mengalir deras seperti air dalam keran yang telah lama tersumbat.

Roni adalah sang country manager untuk restoran Indonesia yang punya cabang di Malaysia ini. Kerjaannya bejibun. Roni bilang, “saya dijadiin bahan lawakan sama anak-anak buah saya, karena saya ngerjain semuanya sendirian.”

Roni terpaksa menjadi one man show. Dia menjadi perpanjangan tangan dari Jakarta dan meng-handle finance, ops, sampai marketing restoran itu.

Ini termasuk memimpin karyawannya yang semuanya orang Malaysia. Ada kalanya tingkat turn over karyawannya sangat tinggi. Juga pernah ada yang bilang kalau mereka malu bekerja di restoran kepunyaan orang Indonesia.

Selama lebih dari empat tahun, apa yang diyakininya sebagai padang gurun seolah mengejawantah. Padang gurunnya benar-benar gersang, kering dan menyengat. Hidup seolah sedang berkomplot untuk mengujinya dengan beragam cara.

Roni pernah diperkarakan dan harus maju ke pengadilan karena dianggap tidak membayar gaji overtime dan pesangon mantan karyawannya, sesuai dengan aturan yang seharusnya.

Ia juga dengan nekat bekerja hanya dengan bermodal visa turis. Usahanya membuat working permit sangat problematik. Akibatnya dalam empat tahun terakhir ia harus keluar Malaysia sebulan sekali agar tidak overstay, ketahuan polisi imigrasi, dipenjara dan lalu dideportasi.

Gajinya, katanya, juga tidak sepadan dengan tanggung jawabnya. Banyak yang menyangka gajinya besar, tapi nyatanya ia harus naik bis setiap hari untuk menghemat pengeluaran. Boro-boro main golf, berenang di apartemennya saja ia nggak sempat. “Hidup saya hanya untuk bekerja,” katanya tanpa bermaksud melebih-lebihkan.

Setelah restoran tutup, sekitar jam 9 malam ia kembali ke apartemennya di daerah Subang Jaya dengan menumpang bis. Perjalanan memakan waktu kurang lebih satu setengah jam, dan sering kali ia terkantuk-kantuk di bis, atau mengalami kejadian-kejadian yang kurang menyenangkan, misalnya dikuntit seorang bule mencurigakan.

Di malam harinya, Roni masih harus membuka laptop, untuk membereskan pembukuan.  Lepas jam 1 malam, dia baru akan tertidur.

Saat bangun pagi sekita jam 8, bumbu-bumbu masak sudah menunggunya. Ia lalu melakukan pengecekan ke dapur,  dan sekitar jam 12 siang ia baru akan berangkat ke restoran.

Begitu setiap hari. Selama 4 tahun.

Gue nggak tega untuk nanya apa dia pernah merasa bosan? Atau nggak hepi? Atau diam-diam depresi?

“Tapi pak, bapak sadar nggak kalau lagi dizhalimi?” gue mencoba memprovokasi. Tidak mungkin ada yang bisa mengerjakan pekerjaan sekompleks ini sendirian! Batman aja dibantuin Robin. Atau mungkin ia sebenarnya adalah seorang Superman, minus celana dalam merah?

Ia bilang, pernah sih ada orang lokal yang bantuin dia, tapi orang tersebut malah menghancurkan apa yang sudah dibangunnya selama bertahun-tahun. Yang bikin sakit hati, Jakarta menggaji orang lokal tersebut jauh lebih besar. “Gajinya setahun jauh lebih besar dibandingkan gaji saya selama 3 tahun.”

“Pernah nggak bapak bertanya pada Tuhan, apa sudah boleh pergi?” gue tetap belum puas.

Pernah, katanya. Setelah bertanya demikian, jawaban itu datang dalam bentuk permohonan sponsorship yang diajukan mahasiswa Indonesia di salah satu universitas swasta di KL. Roni menganggapnya sebagai isyarat untuk bertahan. Bahwa ia belum boleh meninggalkan padang gurunnya.

“Jadi kira-kira kapan Yesus datang dalam mimpi bapak dan bolehin bapak pergi?” tanya gue lagi. Ia menggeleng tidak tahu. Lalu guepun pergi dengan membawa satu lagi kisah yang gue nggak nyangka bisa temukan di Kuala Lumpur atau dimanapun di dunia ini.

Dan pertanyaan tersebut menjadi awal dari sebuah perenungan.

Di tengah kerasnya perjuangan gue di sini, there he comes, pria yang tanpa sengaja gue temuin, dan dengan cara yang ajaib gue bisa mendengar kisahnya.

Gue pernah dengar ada orang bertapa, puasa senin kamis, mandi kembang, dan berendam di sungai untuk menjalani sebuah laku tertentu. Semua dijabanin dalam rangka misi tertentu, misalnya pengen kaya, pengen sakti, atau pengen dapat jodoh. 

Beberapa tahun yang lalu, gue pernah membaca novel berjudul “Pergilah Ke Mana Hati Membawamu” karya penulis Italia, Susanna Tamaro. Kisahnya tentang seorang nenek sekarat yang ditinggal cucunya pergi sehingga harus hidup sendirian. Nenek itu lalu mengirimkan surat-surat untuk cucunya yang berisi wejangan-wejangan bijak untuk menjalani kehidupan, dan terakhirnya si nenek bilang, “lalu ketika hati itu bicara, beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu.”

Jika bercermin pada panggilan yang didengar Pak Roni, gue jadi sadar kalau ada hal-hal di luar suara hati yang membuat seseorang melakukan apa yang dilakukannya. Ini adalah keyakinan, dan keyakinan itu menjelma Yesus yang hadir dalam mimpinya.

Tapi, apakah hati yang membawa gue ke Malaysia?

Apakah hati jugalah yang membuat gue tetap berada di sini?  Gue belum menemukan jawabannya.

Setidaknya, hari itu gue menemukan satu lagi alasan untuk bersyukur betapapun beratnya hidup gue sekarang. Bahwa gue selalu bisa pergi, tanpa perlu menunggu Yesus datang dalam mimpi gue.


1 komentar:

  1. dimana hatimu berada, disitulah ada hartamu....pertanyaannya apakah lo ada hati ? :)

    BalasHapus