Selasa, 15 Februari 2011

Motivasi yang Samar Dalam “One Day In September”



Tragedi pembunuhan terhadap atlet Israel oleh teroris Palestina pada Olimpiade Munich pada tahun 1972 diceritakan ulang dua puluh tujuh tahun kemudian oleh sutradara Kevin McDonald melalui film “One Day in September” (1999). Dengan mengambil format dokumenter, Kevin berfokus pada krisis penyanderaan, dan adegan pembunuhan lebih daripada berusaha mengungkap apa motivasi terorisme itU.

Barangkali jika McDonald mau ‘menunggu’ dua tahun lagi yaitu pada September 2001, ketika tragedi WTC di Amerika Serikat terjadi, ia barangkali juga akan tertarik untuk mengadaptasi tragedi terhadap rakyat sipil itu menjadi sebuah film. Perisiwa 9/11 telah membunuh lebih banyak ‘korban’ daripada 11 atlet Israel yang terbunuh secara brutal dalam drama penyanderaan yang mengawalinya. Namun, setiap peristiwa terorisme adalah ‘suspense’, ia juga mewartakan adanya keinginan-keinginan tertentu yang coba diungkapkan dengan cara terakhir, yaitu kekerasan.
Namun One Day tidak menjelaskan dengan gamblang apa keinginan-keinginan itu. Penonton diminta memahami sendiri dalam konteks jaman ketika peristiwa itu terjadi, ketika konflik Arab- Israel sedang sangat memanas dan Jerman sebagai tuan rumah olimpiade musim panas itu berusaha menghilangkan stigma akibat propaganda Nazi sewaktu penyelenggaraan Olimpiade 1936. “Film ini hampir tidak menjelaskan siapa orang-orang Palestina itu atau mengapa mereka melakukan penyerbuan,” komentar Roger Ebert, seorang kritikus film terkenal.
One Day memilih untuk secara intense meng-capture 21 jam penyanderaan pada 5 September 1972, yang membawa penonton pada atmosfer penuh kegentingan termasuk kekhawatiran adanya korban yang memang kemudian jatuh. Sejarah lalu mencatat peristiwa Black September dalam lembaran kelabu Olimpiade, dimana antisipasi pengamanan polisi Jerman sangat minim, dan makna luhur penyelenggaraan olimpiade tercederai. (McDonald mengeksekusi adegan montages para korban ini dalam caranya sendiri yaitu dengan scoring music rock.)
One Day menyiratkan bahwa korban yang berjatuhan untuk sebuah perbuatan atas nama keadilan adalah sebuah keniscayaan. Orang-orang seperti Jamal Al-Gashey, satu-satunya teroris yang selamat dari peristiwa itu dan bersembunyi di Afrika, akan terus ada. Dalam film ini. Jamal diinterview—yang lalu menjadi salah satu kekuatan One Day. Pria itu mengenakan topi, kaca mata hitam dan wajahnya diburamkan.
Mereka inilah yang percaya bahwa jalan menuju perdamaian dan keadilan tidak bisa dielakkan dari kekerasan dan tragedi, sebagaimana peristiwa 9/11—yang mencuatkan nama Osama Bin Laden, atau Bom Bali yang melahirkan figure Noordin M Top. Dan bukan sebuah kebetulan jika baik peristiwa 9/11 dan Bom Bali sudah menginspirasi sineas untuk menampilkannya dalam film.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar