Selasa, 15 Februari 2011

Two Japanese at Nusa Lembongan

“Kamu tidur dengannya?” Bertanya Kinnosuke kepada Yoshikawa. Kinnosuke hampir tak bisa bernafas dengan normal, kemarahan merasuki dirinya. Ia memandang lekat-lekat Yoshikawa yang tidak membalas tatapan itu ataupun sekedar mencondongkan badan padanya—bahasa tubuh yang memperlihatkan kalau kita sedang merespon lawan bicara.
Kinnosuke tidak tahan lagi. Ia meraih kerah baju hawaii Yoshikawa. Kepalan tangannya berada di udara, pada jarak hampir nol ke arah wajah Yoshikawa yang pasrah. Sesaat yang ingin dilakukan Kinnosuke adalah menghantam wajah Yoshikawa dengan kepalan tangan itu. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali agar Kinnosuke bagaimana rasa sakit—seperti rasa sakit yang bersarang di hatinya karena pengkhianatan itu.
Yoshikawa menatap Kinnosuke. Kinnosuke tidak mengerti apa arti tatapan itu. Namun sesuatu dalam tatapan itu membuat Kinnosuke menghempaskan tubuh Yoshikawa ke lantai.
Kinnosuke pergi begitu saja.

Kinnosuke sedang makan malam. Waktu itu senja seharusnya indah di Nusa Lembongan. Warna ungu mengintip dari balik kelam awan yang berkhianat. Ada rasa masygul di dada Kinnosuke—ia ingin melihat dan menikmati matahari terbenam yang sempurna. Disertai detik-detik dimana cahaya memudar, burung-burung terlihat di kejauhan bagai siluet indah dalam lukisan naturalis. Ada perahu nelayan dan alam sedang berpuisi dengan kata-kata yang hanya bisa ditangkap pujangga. Kinnosuke bukan pujangga, tapi ia menghayati nilai-nilai estetika yang menjelma puitis seperti itu.
Dan malam ini, dirasakannya pengkhianatan kedua itu.
Yoshikawa membawa nampan berisi makan malamnya, nasi goreng dan jus alpukat. Ia duduk di sebelah Kinnosuke, di sebuah restoran yang menghadap pantai itu. Kinnosuke hanya sekedar melirik ke arah piring Yoshikawa. Wajahnya masih tampak muram dan marah. Kinnosuke hanya tertawa dalam hati, ia tidak memesan nasi goreng karena ia tahu nasi yang ada di pulau ini tidak dicuci dengan benar. Kemarin ia makan nasi goreng disertai dengan batu-batu kecil, dan barangkali kutu-kutu.
Kinnosuke menyambar kentang gorengnya, berusaha cuek dengan kehadiran Yoshikawa. Kalau resto saat itu sedang kosong, ia pasti sudah pindah tempat duduk. Tapi ia hanya duduk dalam gumun, dan membiarkan keheningan menyelimuti ia dan Yoshikawa.
“Kalau aku mau tidur dengan perempuan, aku bisa mencari geisha kapanpun aku mau,” Yoshikawa memecah keheningan itu. Kinnosuke mendengus. Yoshikawa sama sekali tidak menjawab pertanyaanya.
“Aku mau tahu yang sesungguhnya!” Kinnosuke setengah berteriak.
Pengunjung resto mendongakkan kepala ke arah mereka. Kinnosuke tidak peduli. Ia tahu tak ada seorang Jepangpun di restoran ini, atau seseorang yang bisa mengerti bahasa Jepang, dan kalaupun mereka mengerti apa urusan mereka dengan percakapan ini?
Yoshikawa menyeruput jus alpukatnya.
“Harusnya tidak pernah ada percakapan mengenai Natsumi malam itu,” kata Yoshikawa. Pandangannya menerawang ke ufuk barat yang sudah gelap sempurna saat itu. Untuk pertama kalinya ia terlihat benar-benar menyesal.
“Aku tidak akan pernah memaafkanmu. Aku benar-benar mencintai Natsumi tahu!” kata Kinnosuke dengan ketus.
“Aku tahu.” Yoshikawa menjawab dengan suara beratnya yang tenang.
Kinnosuke terdiam. Ia mengurungkan beberapa pertanyaan yang menggelayut di kepalanya seperti seekor orangutan yang manja.
Kinnosuke lalu mendengar suara Yoshikawa yang tak terlihat—wajahnya berada di luar ambang cahaya, jadi tidak terlihat olehnya. “Natsumi itu gadis yang sangat bebas. Baginya, harajuku hanyalah olok-olok. Kamu tahu apa maksudnya kan?”
Kinnosuke tidak segala menjawab. Ia malu untuk mengakui bahwa ia tidak memiliki pemahaman sedalam itu mengenai pacarnya sendiri.
“Kinnosuke, kamu rindu padanya?”
“Mengapa kamu tanya seperti itu? Apa urusanmu?”
“Kalau kamu sedang memikirkannya, barangkali ia juga sedang memikirkanmu.”
“Omong kosong. Kau tidur dengannya! Kurang ajar!”
“Jangan membuat asumsi sendiri!”
“Sudahlah. Aku lelah!”
Kinnosuke melihat makanan yang telah tandas. Yoshikawa tidak menghabiskan makanannya, barangkali memang betul karena batu dan kutu. Kinnosuke menjadi sedikit senang melihatnya.
Kinnosuke memanggil pelayan.

Mereka berjalan menuju penginapan yang berada di sisi lain pantai. Daerah yang berada di lingkungan petani rumput laut yang hidup dengan teramat sederhana. Jalan menuju ke penginapan itu gelap, terjal, dan berbahaya. Relief yang tidak teratur di bibir pantai dengan kayu-kayu perahu yang teronggok, batu-batu karang, dan keduanya harus berjalan cahaya dari bintang di langit yang tak seberapa—tak ada bulan, dan cahaya dari motel-motel kecil tidak lagi menjangkau jalan itu.
Yoshikawa melihat Kinnosuke berjalan di depannya, masih dengan derap marah. Yoshikawa khawatir kalau Kinnosuke terantuk batu, atau apapun yang membahayakannya. Ia sudah teramat paham dengan watak Kinnosuke yang terlampau gegabah.
Yoshikawa menyusul Kinnosuke. Dengan cahaya HP seadanya, ia berusaha melihat ke arah jalanan di depannya. Cahaya itu tak cukup—hanya bisa mengandalkan insting karena sesungguhnya jalanan itu sudah dilalui mereka tadi siang.
Yoshikawa menggenggam tangan Kinnosuke. Ia ingin melindungi Kinnosuke—jalanan itu hanya setapak, kecil dan berbahaya. Yoshikawa menuntun Kinnosuke yang melangkah di bekas jejak-jejak kaki Yoshikawa di pasir. Kinnosuke tidak melepas genggaman tangan itu sampai mereka melihat plang motel kecil mereka di kejauhan.

Esoknya, Kinnosuke terbangun masih dengan rasa jengkel. Jengkel karena ia ternyata masih merasa sangat marah pada Yoshikawa. Kinnosuke lalu mandi dan bergegas menuju lobby hotel.
Di lobby kecil itu, ia tidak melihat siapa-siapa. Hanya ada Yoshikawa yang sedang sarapan sambil melihat ke arah laut. Kinnosuke mengambil sarapan yang sudah tersedia di meja, toast, telur, dan buah-buahan. Ia lalu duduk di kursi lain, agak menjauh dari Yoshikawa.
“Kinno-san?” Yoshikawa memanggil Kinnosuke. Sesungguhnya Kinnosuke tidak pernah suka dipanggil begitu oleh Yoshikawa. Kinnosuke tidak bergeming. Ia makan dengan acuh.
Yoshikawa bangkit dan menuju luar motel. “Hari yang cerah ya?” katanya. Barangkali pada dirinya sendiri.
Yoshikawa terus berjalan di jalanan setapak, menuju gerbang sederhana, dan menjumpai laut. Yoshikawa menoleh dan memanggil Kinnosuke untuk bergabung dengannya.
“Gunungnya indah sekali!” kata Yoshikawa. Ia lalu mengeluarkan kameranya dan mulai memotret di sana-sini. Ada beberapa anak kecil yang tidak memakai celana mendekatinya. Yoshikawa tampaknya bercanda dengan mereka—anak kecil itu tertawa-tawa. Yoshikawa memotret mereka, dan ikut berlari-lari mengejar ombak-ombak kecil.
Kinnosuke mencibir melihat kelakuan Yoshikawa. Ia sudah kehilangan minat untuk meneruskan liburan kali ini.

Tapi siangnya, Yoshikawa ingin snorkeling dan mengajak Kinnosuke.
“Sore nanti baru kita kembali ke Kuta,” kata Yoshikawa.
“Aku tidak bisa berenang,” timpal Kinnosuke.
“Tidak ada kaitan antara berenang dan snorkeling. Kau hanya perlu mengambang.”
“Tetap saja aku tidak mau”.
Yoshikawa tahu kalau ia tak akan pernah bisa memaksa Kinnosuke. Maka menjelang siang itu, saat Kinnosuke hanya melamun sambil memandang Gunung Agung menjulang di kejauhan, Yoshikawa berangkat sendiri dengan perahu carteran untuk snorkeling di lau sekitar pulau di tenggara Bali itu.
Perahu itu terus membawa Yoshikawa. Yoshikawa tidak menghadap ke depan. Ia terus memandang Kinnosuke yang berdiri mematung di pinggir pantai. Yoshikawa ingin meminta supir perahu kecil bermotor itu untuk berbalik, dan ia ingin memaksa Kinnosuke untuk menemaninya. Jika Kinnosuke tidak suka berbasah-basah, ia bisa tetap tinggal di perahu, menunggu Yoshikawa snorkeling, dan barangkali Kinnosuke akan ikut bergabung, dan mereka bisa snorkeling bersama-sama, dan itu akan menjadi saat-saat yang menyenangkan.
Tapi perahu sudah berjalan jauh, dan Kinnosuke sudah tidak kelihatan lagi. Dalam gemuruh deru angin, dan kecipak ombak, Yoshikawa merasa sangat-sangat kesepian.

Sore itu, Perama Boat sudah menunggu mereka. Kinnosuke tampaknya sudah kehilangan minat mengobrol sama sekali. Mereka naik ke atas perahu yang sudah hampir penuh dengan semua penumpang bule, dan satu dua mungkin orang Indonesia atau Thailand atau Malaysia.
Kinnosuke duduk di pinggir, dan langsung mencondongkan dirinya ke arah laut. Yoshikawa duduk disebelahnya, dan siapapun yang melihat posisi duduk mereka, pasti akan langsung tahu kalau keduanya sedang bermusuhan atau sedang ada masalah.
Yoshikawa beberapa kali mencuri pandang pada Kinnosuke, namun Kinnosuke bahkan seperti tak ingin dilihat. Ia menutupi wajahnya dengan handuk, dan melipat tangannya di dada.
Posisi itu tak berubah sampai mereka tiba di Pantai Sanur.
“Bagaimana kalau kita melihat Kecak di Uluwatu. Pertunjukkan akan dimulai sebelum matahari terbenam. Kita masih ada waktu dengan taksi kesana.” kata Yoshikawa begitu mereka menginjakkan kakinya di Sanur. Ia masih antusias untuk bisa memberikan pengalaman liburan yang menyenangkan untuk Kinnosuke.
Kinnosuke tetap diam. Dalam hati, sesungguhnya ia ingin menikmati sunset yang sempurna di Bali.

Mereka tiba di Uluwatu satu jam kemudian. Kinnosuke dan Yoshikawa masing-masing memakai sarung berwarna biru yang diberikan pengelola tempat itu—yang wanti-wanti untuk waspada dengan monyet-monyet yang sering mengambil kacamata pengunjung. Setelah membeli tiket, mereka berjalan menuju ampiteater yang sudah sangat ramai oleh penonton.
Namun, sesuatu terjadi. Kinnosuke berteriak, memaki. Dan ia memandang dengan marah ke arah Yoshikawa. Saat itu, Yoshikawa melihat kalau Kinnosuke tidak memakai kacamata.
Turis-turis lain makin waspada dengan monyet-monyet pencuri. Kinnosuke menggelangkan kepalanya cepat-cepat.
“Aku benci ini!”
Kinnosuke bukan hanya marah, tapi sudah mau menangis saking kesalnya.
“Sekarang aku tidak bisa melihat apa-apa.”
Yoshikawa kebingungan. Ia merasa Kinnosuke pasti akan makin membenci dirinya. Tapi seseorang lalu memberikan kacamata pada Kinnosuke. Kinnosuke menerima dengan tidak percaya. Orang itu telah menuruni tebing dan merebut kacamata Kinnosuke dari tangan monyet-monyet jahil yang mungkin sudah mendiami pura selama beribu tahun lamanya.
Kinnosuke mengucapkan terima kasih, dan memberikan sejumlah uang pada penolongnya.
“Mari bergegas, pertunjukkannya akan segera dimulai,” kata Yoshikawa dengan wajah cerah.

Dan senja yang indah menjadi background dari pertunjukkan tari dari masa prasejarah. Apa lagi yang lebih indah dari itu? Bukan indah, tapi mistis. Seperti senyum Kinnosuke di akhir pertunjukkan, dan ketika mata mereka bertatapan, Yoshikawa tidak lagi melihat adanya permusuhan di mata itu.
Tapi Yoshikawa ternyata salah. Ketika mereka berjalan menuju taksi dalam gelap, Kinnosuke bukan hanya menolak rangkulan bahu Yoshikawa, tapi ia dengan jelas menghujani Yoshikawa dengan kata-kata pengakhiran.
“Besok, kita hanya akan sampai di Narita. Sesudah itu, kau bukan saudara kembarku lagi,” kata Kinnosuke.
Yoshikawa tertegun. Ia membiarkan Kinnosuke berjalan duluan bersama turis-turis yang bergegas menghindari gelap malam.
Yoshikawa tiba-tiba berteriak dalam hening itu.
“Natsumi sangat mencintaimu,” kata Yoshikawa.
Kinnosuke menoleh, memandang Yoshikawa lalu berjalan kembali.
Yoshikawa mendesis lemah. “Dan saat kita tidur bersama, itu adalah sebuah kesalahan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar