Selasa, 15 Februari 2011

THE BIRTH OF NATION (REVIEW)



Awalnya film bisu karya D.W. Griffith ini berjudul The Clansman. Namun kemudian diganti menjadi The Birth of A Nation yang mencerminkan keyakinan Griffith bahwa Amerika lahir dari Perang Saudara, yang seolah-olah diakhiri oleh Ku Klux Klan, untuk kemudian menjadi bagian dari sejarah kelahiran sebuah negara.

Barangkali Barrack Obama tidak perlu lagi menonton The Birth of A Nation (1915) sebagai refleksi sejarah dan aspirasi publik, sebab ia—yang keturunan Afrika Amerika, sudah menjadi pemimpin tertinggi negara dengan sejarah panjang rasialisme itu, yang oleh karenanya kita bisa menganggap bahwa segala sentimentalisme terhadap kulit hitam (seharusnya) telah runtuh dan semua etnis kini bisa makin hidup dalam harmonisme yang konstruktif.
Sebenarnya perlu diingat bahwa film ini dibuat hanya lima puluh tahun setelah Perang Saudara itu berakhir. Pada saat itu, diskriminasi rasial adalah sesuatu yang tampak galib, setidaknya sampai penghujung abad 20—bahkan sebuah artikel yang muncul di Los Angeles Times, menyebutkan bahwa film ini digunakan Ku Klux Klan sebagai suatu medium perekrutan.
Ku Klux Klan digambarkan dalam film berdasarkan novel Thomas Dixon ini sebagai sebuah tangkisan budaya dan politik. Perang Saudara Amerika yang terjadi pada 1860-an adalah invasi kaum Utara yang menduduki daerah Selatan, yang lalu jatuh sehingga membuat institusi yang menjaga segala pranata sosial di Selatan terhempas, tergantikan pemerintahan yang maha buruk, yang salah satunya mengupayakan kesamaan hak bagi komunitas budak yang baru saja dibebaskan. Dalam kondisi ketika kaum kulit putih merasa dikebiri inilah, Ku Klux Klan lahir. KKK dianggap sebagai keniscayaan bagi kaum kulit putih Selatan untuk menjaga tanah, anak-anak, wanita, dan kehormatan mereka melalui teror, intimidasi, dan propaganda.
Griffith menegaskan pandangan bahwa semua ini bermula ketika Amerika mengenal perbudakan pada Abad 17, sebagaimana dibukanya dengan prolog film: “The bringing of the African to America planted the first seed of disunion.” Tidak hanya itu, jika kulit hitam—umumnya budak, digambarkan secara eksplisit sebagai ‘gila seks’, penuh kekerasan, kekanak-kanakan dan pengacau, maka kulit putih dilukiskan sangat bertolak belakang: bermartabat, terpelajar, dan sophisticated. Hal ini terlihat pada bagian dua film ini “Reconstruction”—bagian pertama memotret era sebelum Perang Saudara, dimana seorang mantan budak bernama Gus mengejar-ngejar seorang gadis, untuk memaksanya menikahi dirinya, sampai gadis bernama Flora itu harus melarikan diri ke hutan, terperangkap dalam batu karang, dan akhirnya tewas. Gus akhirnya diburu dan dibunuh oleh pengikut KKK.
Sikap politically correct yang nyata berpihak ini tetap dipertahankannya sampai dengan akhir film yang memenangkan Ku Klux Klan dalam suatu pertempuran bersenjata, serta dalam happy ending dimana dua pasangan dari keluarga yang menjadi peran utama film ini melakukan double honeymoon.
Mantan Presiden Amerika Serikat, menyebut film ini sebagai sebuah kebenaran yang menyakitkan. “It’s like writing history with lightning, and my only regret is that it is all so terribly true,” kata Wilson dalam “History of The American People”. Seakan menyambut kontroversi muatan sejarahnya, publik menyukai film ini, yang kemudian membuatnya sebagai salah satu film terlaris dan terbaik secara teknis dimasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar