Senin, 14 Februari 2011

Sosok Ayah dalam The Road



Seorang ayah dan anak laki-lakinya berjalan menyeberangi daerah gersang yang porak poranda oleh bencana yang tak dinamai. Mereka hanya memiliki sebuah pistol untuk melindungi diri dari gerombolan kanibal, pakaian yang mereka pakai, dan troli belanja karatan berisi makanan yang mereka dapatkan—dan yang terpenting, satu sama lain.


Itulah premis film The Road. John Hillcoat mengadaptasi novel pemenang Pulitzer karya Cormac McCarthy ini menjadi film yang sepenuhnya mencekam, muram dan kelabu. Sepanjang durasi, kemurungan ditampilkan dalam warna-warna suram, laut yang tak biru, langit yang tak bermatahari, dan wajah-wajah yang tak elok dipandang.

Dunia telah musnah, kemungkinan oleh gempa bumi. Viggo Mortensen menjadi ayah yang sangat protektif pada anaknya, dan selalu berprasangka buruk terhadap siapapun. Tapi sikapnya bisa dimengerti, karena ia harus menjaga anak laki-lakinya, satu-satunya yang tersisa darinya, setelah sang istri (diperankan oleh Charlize Theron) meninggalkannya dan lalu meninggal entah dimana dan bagaimana.

Istri berpesan agar mereka terus berjalan menuju selatan, dan menjumpai laut. Manusia penghuni bumi telah banyak tewas, meski masih tampak sisa peradaban: jalan tol yang rusak total, mobil-mobil yang tampak usang, dan menyerupai puing, rumah-rumah tak berpenghuni, pom bensin, dan tak ada apa-apa lagi di sepanjang lansekap gurun, gunung dan hutan. Gempa bumi sesekali terjadi.

Dalam versi novelnya, kisah ini terasa sangat hening. The Road hanya dihuni ayah dan anak, dalam perjalanan mereka untuk tetap survive, dengan hanya sedikit keterangan dan interaksi dengan tokoh-tokoh lain, tanpa tanda kutip, dengan jarak antar spasi yang cukup jauh, menjadikan novel ini memiliki aroma puitis dan bukan bacaan yang ringan.

Namun dalam versi filmnya, ada lebih banyak adegan flashback, meski dalam porsi yang sengaja dikurangi, tapi cukup memberikan penyegaran misalnya ketika dunia masih baik-baik saja: Vigo membelai Charlize yang tertidur di mobil.

Dan sesungguhnya, tidak ada yang mau kehilangan orang yang dicintai. Istri atau anak. Vigo masih sering memimpikan istrinya dalam masa-masa perjalanan mereka, ketika mereka tidur dimana saja, di tenda, dalam bunker, dalam rumah kosong, atau apapun. Sang anak juga kerap bermimpi, namun mimpi buruk. Inilah kata Vigo: “Bagus jika kamu bermimpi buruk, karena itu artinya kita harus terus berjuang. Tapi jika kamu bermimpi indah, maka sesuatu yang salah sedang terjadi.”

Ketika mereka menemukan orang-orang, siapapun itu, Vigo selalu berpikir kalau mereka adalah orang jahat yang akan melukai anaknya. Ada satu adegan yang intense dimana Vigo mengajari anaknya bunuh diri dengan pistol, bahkan menodongkan pistol ke kening anaknya sendiri, yaitu ketika bahaya demikian mengancam.

Meski samar, sang ayah diam-diam mempertanyakan Tuhan. Ia berkata sebagai kata-kata penghiburan untuk anaknya, ketika mereka sama-sama mendapati kalau mereka sekarat karena kelaparan: “aku tak percaya Tuhan. Tapi ketika kamu lahir, aku percaya. Karena siapa lagi yang bisa menciptakanmu?”

Vigo menemukan jepit rambut istrinya dan ia merenung, salah satu dari voice over terbaiknya: “Jika Aku Tuhan, aku akan menciptakan dunia yang persis sama dengan yang diciptakannya, agar aku bisa bertemu kembali denganmu.”

Namun dalam kondisi dengan derita yang tak berkesudahan itu, keduanya menyadari bahwa hanya kematianlah yang akan mengakhirinya. “Papa, jika aku mati, apa yang akan kau lakukan?”

“Lebih baik, aku mati juga.”

Tidak seperti film-film bertema Post Apocalypse lainnya, yang menarik pada The Road bukanlah monster atau orang-orang yang menjadi kanibal, dan perjuangan heroik meraih kemenangan atas tokoh-tokoh jahat, melainkan sebuah hubungan ayah dan anak yang indah dan penuh kasih, seperti dalam Le Grand Voyage.

Ini terlihat ketika Vigo mulai lemah dan akhirnya menemui sakaratul mautnya. Ia minta maaf pada sang anak. Tidak ada tangis berlebihan, itu terjadi di pantai, sang anak sendirian, dan ia meraih pistol yang hanya menyisakan satu peluru. Seseorang datang, anak kecil itu menodongkan pistol padanya. Orang itu tampak menyeramkan, namun ia yakinkan bahwa ia bukan orang jahat, dan akan menolongnya.

Anak kecil itu akhirnya percaya, ia kembali ke mayat ayahnya. “Aku akan selalu mengingatmu, Papa. Apapun yang terjadi.” Ia lalu menutup wajah beku sang ayah dengan selimut usang.

Ia menemui orang asing yang saat itu bersama seorang wanita, dan anak-anak—kira-kira seusianya. Dan seekor anjing. Ia menilai mereka, seperti bertanya apakah mereka orang baik atau orang jahat. Lalu ia tersenyum. Film berakhir, yang melahirkan efek puitis akan suatu dunia dimana hidup bisa lebih jadi lebih buruk di tahun-tahun yang akan datang, dimana kiamat dan bencana mungkin bisa benar-benar terjadi. Namun ketika saat itu datang, semoga kita bisa bersama dengan orang yang kita cintai dan mencintai kita.

The Road didedikasikan oleh Cormac McCarthy untuk anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar