Minggu, 13 Februari 2011

Hujan Dalam Sehelai Kartu Pos

Dear Alina dan Maneka,

Bersama kartu pos ini kukirimkan pada kalian, sepotong hujan—dengan desau angin, keretap petir, dan riuh angin menderu. Ini adalah kartu pos yang aku terima dari Sukab, aku harap kalian menerimanya dalam keadaan lengkap.

Seperti ketika setiap hujan terjadi, tentu ada juga orang-orang yang berteduh, anak-anak tukang ojek payung, dan barangkali juga perahu-perahuan yang dibuat oleh kanak-kanak yang lepas. Namun, maaf aku tak dapat menghadirkannya sekalian.

Dear Alina dan Maneka,

Tidakkah kalian tahu, akulah kekasih Sukab yang sebenarnya. Akulah yang paling ia cintai. Sebab ia mengirimkanku kartu pos dengan gambaran potongan hujan ini. Dan kalau ia mengirimkanmu, Alina, potongan telinga, dan kau, Maneka, sepotong bibir paling indah di dunia, maka aku menerima sepasang mata yang paling indah darinya.

Mata ini adalah sepasang mata yang paling bersinar yang pernah aku lihat, dengan pijaran sinar yang selalu berkelip, seperti binaran yang ada dalam berlian. Seperti bintang paling terang di galaksi. Mata ini, selalu mengingatkanku pada matanya, pada mata kekasihku tercinta.

Aku tidak akan menyalahkan kalian jika kalian cemburu. Tapi diantara semua bagian tubuh, Sukab paling suka dengan mata. Sebab mata adalah jendela jiwa, dan itu adalah sesuatu yang paling dalam. Telinga mendengar suara-suara, dan bibir mengucapkan suara-suara. Telinga bisa mendengarkan kebohongan, sementara bibir bisa mengucapkan kepalsuan. Tidak demikian halnya dengan mata.

Jika bibirmu berbohong, dan telingamu tertipu, maka mata adalah anak kecil yang paling jujur. Tataplah mata, dan kau akan tahu segalanya, rahasia-rahasia, cinta, dan perasaan-perasaanmu yang terdalam, bibir boleh tersenyum, tapi mata tak bisa ikut tersenyum, jika ia tidak menginginkannya. Oleh karena itu, jika Sukab mengirimkanku sepasang mata yang paling berharga, maka itu artinya, akulah yang paling berharga untuknya. Tidaklah kalian setuju?

Tapi, akhir-akhir ini, entah mengapa, sepasang mata ini tampak sendu. Aku memasukkannya dalam sebuah stoples kaca, sehingga aku bisa melihatnya kapanpun aku mau. Karena mata tidak bersuara, aku tak dapat mengira apa yang terjadi jika aku tidak sedang melihatnya, Maka pada suatu pagi, aku menemukan genangan air di dalam stoples. Mata itu telah menangis. Sebuah tangis yang sangat memilukan. Dan ia tak henti-hantinya menangis, meski sudah kukeluarkan ia dari stoples, dan kuletakkan di meja. Tapi airmatanya terus bercucuran, menggenangi lantai kamarku. Air matanya seperti tak pernah habis-habis, sehingga aku bertanya-tanya darimana kesedihan sedalam itu berasal.

Aku akan membiarkannya menangis sampai ia puas meneteskan air matanya. Dan pada saat itu, matanya akan tertutup. Dan ia tertidur. Aku aku lalu mengecup mata itu. Hal ini membuatku teringat pada Sukab, kekasihku. Sedang apakah ia sekarang, dan mengapakah ia mengirimkanku sepasang mata ini?

Lalu mata siapakah ini? Aku tidak berharap kalau ini adalah mata dari orang yang sama dari yang bibirnya kau miliki, Maneka. Atau mata dari salah satu pemilik telinga yang ada padamu, Alina. Sebab aku tak mau menerima kenyataan kalau ini adalah mata calon presiden, mata tukang kibul, Atau mata dari para korban yang mereka potong telinga-telinganya untuk menghentikan mereka mendengarkan sebuah kebenaran. Sukab benar, apakah yang mampu mencegah telinga dari mendengarkan suara-suara, meski seseorang telah memotong daun telingamu?

Dan sekarang, aku berangan-angan, mengapa ada orang yang mau mengambil sepasang mata. Kekejaman macam apa yang bisa melakukannya? Tirani macam apa yang bisa membiarkannya?

Alina, kau beruntung, sebab Sukab menjelaskannya padamu, dan Maneka, kau telah sampai pada dugaan terkuatmu. Tapi aku sama sekali hanya bisa menatap sepasang mata, tanpa bisa menduga apa dan mengapa. Dan bagaimana.

Dan dikala hujan turun seperti saat ini, aku ditemani oleh kartu pos dari Sukab dan sepasang mata. Aku bisa merasakan keberadaan Sukab disampingku. Ini memang mata darinya, tapi bukan matanya. Tapi ia memberikan aku makna akan memiliki sebuah misteri dalam hidupku. Misteri hujan dan pesannya untuk selalu mengingat apa yang pernah terjadi dalam hujan.

Ketika ia memegang tanganku. Tanpa memedulikan hujan turun. Kami berjalan senja itu, melewati pepohonan yang menjadi payung, namun titik-titik hujan berhasil menerobos diantara daun-daun.

Apakah kalian memiliki kenangan semacam itu bersama Sukab?

Dan bersama dengan sepasang mata yang selalu bersinar, terutama jika hujan, juga bersama dengan kartu pos berisikan sepotong hujan, aku memahami satu hal mengenai pria yang entah sekarang ada dimana: Ia mencintaiku.

Salam,

Nayla

1 komentar:

  1. This short story is reconstruction of two short stories. First was Seno Gumira Ajidarma's Sepotong Senja Untuk Pacarku" and second was Agus Noor's "Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia".

    BalasHapus