Jumat, 19 Februari 2016

Tiba-tiba Ingin ke Kamboja


Selamat pagi dari Siem Reap!

Semalaman saya waswas karena takut ketinggalan pesawat pertama dari KL ke Siem Reap, Kamboja. Tapi, akhirnya menjelang pukul empat pagi saya sudah berada di stasiun bis di One Utama, sambil terkantuk-kantuk, menunggu bis Aeroline menuju bandara.

Pesawat AirAsia berangkat pukul 06.50 dan tiba di Siem Reap dua jam kemudian, tapi karena Siem Reap satu jam lebih lambat dari KL, waktu menunjukkan sekitar pukul 08.00 ketika pesawat mendarat di Kamboja.

Pertama kali naik tuktuk di Siem Reap!
Warung tempat berbelanja penduduk setempat.

Sebuah sudut Siem Reap yang atmosfernya masih original.

Jalanan Siem Reap yang berdebu, dan tuktuk yang ada di mana-mana.
Saya selalu menyukai suasana di pagi hari, di suatu kota asing, dan Siem Reap adalah sebuah kota yang sangat charming. Namun, ketika saya menemukan sopir tuktuk membawa papan bertuliskan nama saya di luar bandara, dan ia lalu membawa saya ke hostel, saya mendapati kesan Siem Reap bukanlah sebuah kota, ia seperti pedesaan. Sebuah kampung yang mengingatkan saya pada pengalaman Kuliah Kerja Nyata bertahun-tahun yang lampau.

Ongkos tuktuk itu gratis, sebab sudah termasuk fasilitas dari The Siem Reap Hostel. Mereka menanyakan nomer penerbangan dan kapan saya akan mendarat, lalu mengirimkan sebuah tuktuk untuk menyambut saya.

Menuju ke hostel, saya dibawa melewati jalanan yang berdebu, dengan rumah-rumah sederhana di kiri kanannya. Saya hampir lupa bahwa Kamboja adalah sebuah kerajaan dan seperti sebuah kerajaan pada umumnya, ada rakyat yang mengabdi pada rajanya. Saya membayangkan Yogyakarta.

Angin pagi berhembus, menyelipkan sedikit gigil. Betapa gersangnya Siem Reap, bahkan di pagi hari. Seorang kawan memperingatkan sebelumnya bahwa Siem Reap sangat panas.

Tetapi ketika tiba di hostel, saya diberi tahu kalau waktu check in adalah jam 2 siang! Saya bingung apa yang harus saya lakukan untuk menunggu check in, bahkan saat itu belum lagi jam 10.00 pagi. Resepsionis yang ramah membuka storage room untuk saya sehingga saya bisa menyimpan tas punggung saya.

The Siem Reap Hostel adalah hostel yang bagus, bahkan pernah menjadi The Best Hostel in Sieam Reap pada tahun 2014. Saya membayar US$ 18 untuk stay selama dua malam di kamar dormitory yang berkapasitas 18 orang.  Selain itu, salah satu keistimewaannya adalah adanya kolam renang dan ruangan menonton film, bahkan kelas yoga. Ini fasilitas yang jarang dimiliki sebuab hostel!

Kalau ke Siem Reap saya sangat rekomendasikan hostel ini!

Saya sebenarnya merasa sangat mengantuk, sebab saya tidak benar-benar tidur semalam sebelumnya. Akhirnya saya tidur-tiduran di lobby, yang saat itu ramai oleh para tamu hotel yang sedang menyelesaikan sarapannya.

Setelah itu, saya lalu berjalan-jalan di sekeliling hostel. Jalanan berdebu di sana-sini, dengan riuh rendah suara kendaraan bermotor di sebuah kota yang hampir tak memiliki bangunan berlantai lebih dari tiga. Ada kedai Starbucks, tak jauh dari sebuah bundaran. Ada pula sebuah genangan air. Ini bukan sungai karena airnya tidak mengalir kemana-mana, tetapi bukan danau juga. Istilah yang paling tepat mungkin adalah backwaters, genangan yang cenderung kotor, tapi tidak sekumuh kali-kali di Jakarta. Genangan yang tak bergerak ini semakin memperkuat nuansa Siem Reap sebagai sebuah chilling city, dimana kehidupannya bergerak dengan ritmenya sendiri, yang jauh dari kesan terburu-buru.

Siem Reap menerima dollar AS selain mata uang Kamboja itu sendiri. Dengan 1 dollar AS anda bisa membeli makanan, penjual akan merayu, “One dolla… One dolla..” katanya. Aksen cute itu agak mirip dengan aksen Thailand.




Backwater di Siem Reap.

Pedagang makanan keliling.



Menjajal Fish Massage di Pub Street. Rasanya menggelitik!
Matahari mulai meninggi, dan teman saya betul. Siem Reap panas menyengat. Saya berjalan-jalan menuju ke Pub Street, bahkan sempat menjajal fish massage. Pub Street adalah tempat yang sangat ramai oleh para turis, bayangkan Kuta, tapi di sini tidak ada pantai. Alkohol ada di mana-mana termasuk souvenir, baju-baju, dan tas yang dibuat dari bekas bungkus semen. Harganya murah-murah, membuat orang Indonesia kaget bisa menemukan ada suatu tempat yang lebih murah dari Indonesia.

Saya akhirnya kembali untuk check in di hostel. Saya mencari tahu bagaimana cara untuk ikutan tour ke Angkor Wat, sebuah komplek candi yang menjadi kebanggaan Kerajaan Kamboja, yang beralih menjadi candi Budha, meski awalnya dibangun sebagai candi Hindu oleh Kekaisaran Khmer.

Malam hari setelah menemukan dinner yang murah tak jauh dari hostel, saya tidak melakukan apa-apa lagi. Saya akhirnya memutuskan untuk ikutan tour Angkor Wat dengan mendaftar di lobby hotel. Biayanya US$ 15 per orang. Orang hotel bilang, besok pagi saya harus bangun jam 4 pagi dan ditunggu supir tuktuk di depan hostel.

Tapi saya ternyata tidak bisa tidur, padahal sebenarnya sangat mengantuk. Penyebabnya karena hawa panas, bahkan di malam hari, dan AC seolah tidak berfungsi. Saya lalu turun ke lobby, (hostel ini punya 4 lantai, dengan desain tempo dulu yang saya suka), dan minta pada resepsionis untuk pindah kamar. “I can’t sleep, I need to sleep in a cool Air Conditioner, or else I can’t sleep.”

Resepsionis yang akomodatif berusaha membantu saya, tapi ia harus mengecek dahulu mana kamar yang kosong. Saat itulah, seseorang menyapa saya, ia adalah turis India, yang kelihatannya baru datang. Ia bertanya mengenai tour ke Angkor Wat, saya bilang, ia bisa daftar di hotel ini dan akan dibawa keliling Angkor Wat, dengan tuktuk. Ia bilang, “What is Tuktuk?”. Lalu saya jelaskan, Tuktuk adalah kendaraan lokal di Kamboja dan juga di Thailand.

Setelah itu saya diberi tahu kalau pihak hostel memperbolehkan saya pindah ke kamar lain yang kebetulan lebih dingin dan ada kipas angin tambahan yang bisa saya arahkan ke tubuh saya. Sayapun akhirnya terlelap.

Alarm membangunkan saya menjelang pukul 04.00. Saya bergegas ke lobby dan menemukan di papan pengumuman ada dua nama lain selain nama saya sebagai peserta tour pagi itu, salah satunya adalah Sunny, cewek asal Korea dan yang satunya ternyata adalah laki-laki India yang menyapa saya semalam. Namanya Rahul.

Tak perlu berlama-lama kami langsung melompat ke atas tuktuk, yang langsung melesat di tengah remangnya malam sebelum subuh. Sambil menikmati perjalanan, kami berkenalan. Rahul ternyata seorang India yang bekerja di New York, sedangkan Sunny adalah wanita Korea yang bekerja di New Zealand. Itulah sebabnya aksennya Sunny sedikit susah ditangkap. Tipikal aksen NZ dan Australia yang kedengaran mumbling di telinga. J

Kami berhenti di sebuah tempat untuk membayar tiket dan difoto. Saat itu masih gelap gulita tapi sudah penuh dengan turis! Luar biasa, betapa terkenalnya Angkor Wat!!

Gelap-gelapan menunggu sunrise!

Turis-turis itu sama seperti kami, ingin menikmati mistisnya Angkor Wat di saat matahari terbit. Harga tiket masuknya adalah US$ 20 yang berlaku satu hari dan bisa membayar lebih jika ingin mendapatkan pass masuk untuk dua atau tiga hari ke komplek candi itu. Wisatawan biasanya difoto lalu fotonya dicetak di atas tiket, yang nanti bisa jadi benda kenang-kenangan atau memorabilia.

Gelap-gelapan di Angkor Wat

Saat itu, mungkin sudah ada ribuan turis yang datang bersamaan dengan kami di pelataran parkir di depan gerbang menuju Angkor Wat. Kami bertiga lalu berjalan menuju ke dalam komplek candi ini, dan sama sekali tidak ada yang membawa senter. Kami hanya bisa mengandalkan senter yang dibawa oleh orang lain dan intuisi semata.

Ada juga petugas yang akan mengecek tiket dan memberi petunjuk arah. Setelah berjalan melintasi halaman berumput yang cukup luas, kami sampai di depan sebuah padang lainnya, dan ada danau kecil di sana. Lagi-lagi saya melihat ratusan, mungkin ribuan wisatawan yang seolah-olah dalam posisi siaga, menanti matahari terbit. Saat itu jam 5 saja belum J








Rahul mulai bergerak ke sana kemari dengan kameranya, tapi saya dan Sunny hanya duduk-duduk di rumput yang basah karena embun. Saya lalu mengambil roti (yang saya bawa dari KL) dan mulai memakannya. Lumayanlah, isi perut.

Tak lama kemudian, matahari perlahan muncul. Saya jadi teringat momen ketika menanti matahari terbit di atas bukit Punthuk Setumbu untuk melihat siluet candi Borobudur saat matahari terbit yang sangat magis.

Saat matahari muncul, Angkor Wat kelihatan sangat indah. Candi yang tadinya sama sekali tidak terlihat, sedikit demi sedikit muncul sebagai siluet dengan latar belakang langit saat fajar menyingsing.  Mistis. Berada di tempat itu seperti membenamkan saya pada suasana berabad-abad yang lampau.

Saya sebenarnya sedikit jealous, sebab wisatawan yang datang ke Angkor Wat jauh lebih banyak daripada yang datang ke Borobudur atau Prambanan. Mereka rela bangun di pagi hari yang gelap gulita dan duduk di rumput, di depan Lotus Pond, mereguk sepuas-puasnya keindahan candi yang dinobatkan Unesco sebagai warisan dunia ini.

Selain Angkor Wat, sebenarnya banyak candi lain yang tidak kalah epic-nya, seperti Angkor Thom, Bayon dan Ta Phrom, yang jadi lokasi syuting film Lara Croft-nya Angelina Jolie. Semuanya akan kami jelajahi hari itu.

Rahul lalu punya ide untuk bergegas duluan, bergerak sebelum wisatawan yang lainnya, agar bisa mengeksplorasi komplek candi ini tanpa harus sikut-sikutan sama yang lain. “We can go back later!” katanya. Good idea! Akhirnya saya dan Sunny mengangguk setuju dan mengikutinya menuju ke tempat tuktuk diparkirkan.

Selama kurang lebih empat jam kami mengelilingi komplek Angkor Wat. Kadang dengan tuktuk, kadang dengan berjalan kaki jika jarak antar satu candi ke candi lainnya tidak jauh.

Saya bahkan tempat terpisah dari Rahul dan Sunny karena keasyikan saat mengeksplorasi Bayon.




Rahul turun dari tuktuk.


Sunny dan kameranya. 

Ketika tuktuk terus melaju membawa kami ke candi-candi lainnya, Rahul berkata kalau kita mendahului yang lainnya karena kita tidak melihat turis di candi-candi lain sebanyak yang ada diu Angkor Wat!

Dari semua candi yang ada, saya paling penasaran dengan Ta Phrom, namun menurut saya yang tidak kalah cantik adalah Bayon!














Berkenalan dengan Tiga Gadis Amerika

Setelah puas mengelilingi Ta Phrom, Sunny berkata kalau ia lapar banget. Hehehe. Sayapun demikian, tapi kalau tadi saya sempat menghilang, kini kami berdua tidak melihat Rahul. Akhirnya saya dan Sunny memutuskan untuk menunggu Rahul di pelataran parkir setelah kami berjalan menuju keluar Ta Phrom. 

Tapi setelah menunggu sekitar 15 menit, baru Rahul muncul dengan tuktuk, dan bilang kalau ia telah keliru menunggu di pintu keluar yang satunya. 

Rahul kini menjadi semacam pemimpin kami, termasuk memilih tempat untuk makan siang. Tapi, saya bersyukur punya teman seperjalanan yang cocok, bahkan kami saling bisa bercerita mengenai satu sama lain. 

Sunny adalah seorang ibu bekerja yang menghabiskan sebelas bulan dalam setahun untuk bekerja dan bulan Desember hanya untuk liburan. Setelah Siem Reap, ia akan pergi ke Luang Prabang di Laos dan lalu mengirimkan saya foto-fotonya, setelah kami berpisah. Setelah itu, saya googling mengenai Luang Prabang dan kota itu menjadi wish list yang berikutnya setelah Kerala, Nepal, Hoi An, dan masih banyak lagi. Setelah Luang Prabang, Sunny akan bertemu anak-anak dan suaminya di Bangkok.

Sementara itu, Rahul ternyata seorang konsultan yang bekerja untuk McKinsey. Sangat humble, bahkan mengatakan McKinsey hanya sebuah perusahaan biasa. Setelah Siem Reap, Rahul akan liburan lagi ke Bali, bersama keluarganya. 

Saya bercerita bahwa banyak pengaruh India di Indonesia meskipun tidak banyak keturunan India di Indonesia. Ia kelihatan terkejut ketika saya bercerita bahwa banyak orang muslim di Indonesia menggunakan nama Hindu seperi Wisnu, Rama, dan sebagainya. 

Di sisi lain, Rahul dan Sunny juga heran kenapa saya hanya stay dua hari saja di Siem Reap. Saya jelaskan bahwa tiba-tiba saja saya ingin ke Siem Reap setelah menyadari bahwa hari Jumat, 11 Desember 2015 merupakan hari libur di Negara Bagian Selangor (Ultah Sultan), dan saya ingin pergi liburan singkat tanpa harus ambil cuti.

Ketika kami makan siang di restoran yang dipilihkan Rahul, kami bertemu dengan tiga gadis asal Amerika. Sebenarnya, saya juga bingung bagaimana awalnya ketiga gadis itu tiba-tiba semeja dengan kami, tapi saya rasa itu karena Rahul. Mungkin Rahul sudah mengenal ketiga gadis itu atau hanya sebuah keramahan biasa yang dipahami para turis sebagai mekanisme untuk menemukan teman seperjalanan? Entahlah. 

Yang jelas, gadis AS itu bernama Jordan, Desiree dan Angela. Jordan masih kuliah, jurusan public policy di Amerika sana, dan sedang liburan mengunjungi Desiree yang bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Phnom Penh. Sementara itu, dari semua Angel adalah yang paling pendiam. Tapi tiba-tiba saja ia mengeluarkan tiga buah botol kecil yang berisi alkohol dan ada ular kobra mini di dalamnya. Kami semua terheran-heran dibuatnya. 

Akhirnya obrolan berlanjut termasuk tentang Donald Trump, sampai bagaimana kami mengeja nama Ralph Fieness. Setelah itu kamipun berpisah. 

Tempat ini Mengingatkan Saya Pada Hogwarts

Sebelum pulang ke hostel, kami bertiga kembali ke Angkor Wat. Di sini kami puas-puasin berfoto dan mengabadikan kerumitan dan keindahan candi ini. Kali ini, hari sudah terang, jadi kami bisa menikmati pemandangannya dengan jelas. 



Tapi ketika kami mengekplor Angkor Wat, kami bertemu dengan ketiga gadis itu lagi. Saya bahkan mengobrol dengan Jordan, gadis AS vegetarian itu. Saya katakan padanya bahwa Angkor Wat mengingatkan saya pada Hogwarts. Lorong dan ruangan-ruangannya. Ia tersenyum kecil, lalu ia mengatakan sesuatu yang manis, yang sebenarnya saya lupa. Tapi semacam wish kalau saya menikmati liburan yang menyenangkan. Setelah itu, saya tidak bertemu lagi dengannya.




Demikianlah hari itu saya lalui dengan bersosialiasi, mengenal 5 orang baru, dan sekilas saya menjadi tahu sedikit tentang kehidupan mereka. Tentang tournya sendiri, membutuhkan tenaga ekstra untuk banyak berjalan dari satu titik ke titik lainnya, juga memanjat. Beberapa candi memang perlu dipanjat untuk bisa sampai di puncaknya dan curam sekali! 

Menjelang jam 5 sore, kami sudah tiba kembali di hostel. Rahul bilang kami harus membayar lebih untuk tour sepanjang 12 jam! Kami setuju dan dia bilang melalui perhitungan matematis, berdasarkan kelebihan jam, kami perlu membayar US$ 21, bukan US$ 15. Saya dan Sunny sama-sama mengeluarkan uang US$ 21 tapi ternyata US$ 21 itu dibagi 3, jadi kami hanya perlu membayar US$ 7! Dalam hati saya bersorak sekaligus keheranan karena menemukan tempat yang lebih murah dari Indonesia. 

Malam Terakhir di Siem Reap

Saya tidak bertemu lagi baik dengan Rahul atau Sunny di sisa hari itu, meskipun kami tinggal di hotel yang sama. Saya sempat ketiduran di ranjang di tepi kolam renang, dimana banyak turis melakukan hal yang"kurang penting" seperti main lempar-lempar bola dan mencoba naik mainan bebek balon. 

Di malam hari, saya kembali menyusuri Pub Street, dan makan mi rebus yang mudah-mudahan halal. Saya suka rasanya dan lagi karena harganya murah, US$ 2 dollar saja. 

Mi rebus ala Siem Reap. 
Besok, saya harus kembali ke Kuala Lumpur. Sebetulnya saya merasa belum puas, sebab Siem Reap tidak hanya Angkor Wat, banyak juga atraksi menarik lainnya seperti kuil Banteay Srei, Taman Nasional Phnom Kulen dan floating village!



Ini adalah The Siem Reap Hostel. Jika saya kembali ke Siem Reap, saya akan menginap di hostel ini lagi, yang pelayanannya sangat memuaskan, dan kolam renangnya berbentuk trapesium, chilling dan saya bisa ketiduran di ranjang di tepi kolam tersebut. Sambil membaca buku yang tak selesai dibaca sejak dua bulan lalu. 

Epilog: ketika saya tiba di rumah, saya mendapat kabar kalau Senin, 14 Desember, negara bagian Selangor diliburkan untuk merayakan menangnya Selangor FC dalam final pertandingan sepakbola di Liga Malaysia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar