Selasa, 15 Februari 2011

Sejarah Dunia dalam 10 1/2 Bab (review)

Mungkin karena (Nabi) Nuh tidak 'sepopuler' nabi-nabi lain, maka penggambaran karakter Nuh sebagai tua bangka pemabuk bisa ditemui dalam sebuah novel terjemahan.

Entah mengapa sang novelis begitu terobsesi pada Nuh dan Banjir Besar, dan dengan imajinasi spekulatif merancang teori bagaimana peristiwa itu terjadi, termasuk berbagai kejadian mencengangkan diatas bahtera.

Namun dengan cerdas, pada fragmen “Penumpang Gelap” ini, penceritanya adalah seekor ulat kayu. Dengan memilih point of view seekor binatang dan bukan seorang manusia, menciptakan olok-olok yang cerdas—yang juga terasa di keseluruhan novel ini. Bagian ini memberikan insight bagaimana dan mengapa beberapa spesies binatang tidak terpilih mengikuti pelayaran ini—ulat mempertanyakan keadilan. Tentunya ulat kayu tidak diizinkan berada dalam perahu kayu—karena mereka makan kayu, dan oleh karena itu mereka kemudian menjadi penumpang gelap, dan nyinyir.

Ulat itu percaya bahwa Nuh telah semena-mena dengan mengumumkan waktu tertentu bagi binatang-binatang dunia, untuk keberangkatan bahtera. “...binatang tertentu menempuh perjalanan lebih lambat dari binatang lain. Ada kukang yang kelemak-kelemek yang pasti sudah lenyap terhempas azab Tuhan, bahkan sebelum turun mencapai pangkal pohonnya...”

Ulat menyaksikan banyak hal dan mewartakan pada kita mengenai perilaku binatang yang keluar dari karakternya ketika menemui situasi darurat—bagian yang mengingatkan pada Life of Pi. Meski demikian, ia hanya bisa prihatin melihat makhluk-makhluk langka—Basilisk, Salamander, Sphink, Griffon, dan Hippogriff yang punah. Ulat memiliki kepercayaan kuat bahwa Nuh, istrinya, Ham, Sem, dan yang namanya diawali huruf Y, berada di balik peristiwa ini.

Bahkan dengan kritisnya, Ulat menyatakan bahwa gorila akan lebih baik sebagai pelaut dibandingkan Nuh, dan dengan fantasi orang gila meyakini bahwa Unicorn dibunuh oleh Nuh dengan alasan kecemburuan, karena tanduk Unicorn digunakan istri Nuh untuk....

Pada backcover kata “novel” dituliskan empat kali.

Membaca novel ini seperti menonton film-film multikarakter Alejandro González Iñárritu. Mungkin penyebutan kata novel ini dimaksudkan agar pembaca tidak salah menyebut novel ini sebagai kumpulan cerpen—seperti Babel yang tidak akan pas disebut sebagai kumpulan film pendek.

Jadi, dari peristiwa di atas Noah's Ark, segmen “The Visitors” menceritakan ironi seorang bernama Hughes, yang oportunis, gemar bermain perempuan, dan ahli sejarah, namun terpaksa menjadi negotiator di sebuah kapal yang dibajak teroris. Teroris ini—mereka orang arab, sebuah pilihan tipikal yang karikatural, membajak kapal pesiar yang berlayar di sekitar Yunani, dengan tuntutan pembebasan rekan-rekan mereka yang sedang dipenjara, dan sialnya tidak ada pemerintahan yang meluluskan permintaaan itu, sehingga penumpang akan dibunuh satu persatu. Dan mirip dengan kisah ulat yang mempertanyakan keadilan, Hughes bertanya atas urutan apa para penumpang itu akan dieksekusi. “.. Siapa yang akan mereka bunuh lebih dulu? Orang Amerika? Orang Inggris? Laki-laki dulu? Acak? atau menurut abjad?”...

Novel ini telah men-transcend dongeng omong kosong dengan caranya yang rigid, dan menyisipkan fakta-fakta 'akurat', demi 'kebenaran', dan tendensi serius untuk tidak takluk pada satu kebenaran sejarah (sikap yang akan membuat lenyapnya individualitas dan kemanusiaan kita, katanya). Oleh karena itu, pada segmen yang (dengan alasan yang tidak dimengerti) diberi judul “The Wars of Religion”, novelis menceritakan persidangan ganjil di Perancis pada abad 16, ketika warga desa menuntut ulat kayu yang telah mencelakakan seorang uskup sampai menjadi linglung.

Konon persidangan ini betul-betul terjadi. Penduduk membuat petisi untuk mengucilkan ulat kayu (alasan lain karena ulat kayu tidak disebutkan dalam kitab suci mengikuti bahtera). Petitions des habitans diikuti plaidoyer des habitans, disangkal dengan plaidoyer des insectes. Perdebatan memanas, sehingga penduduk membuat replique. Bartholome Chassene, selaku ahli hukum membalas dengan membuat repliques des insectes. Setelah kesimpulan jaksa, maka hakim memutuskan sebagai berikut: “...kami memerintahkan ulat kayu dengan siksa kutukan, laknat, dan pengucilan agar dalam waktu tujuh hari meninggalkan gereja Saint-Michel..”

Mungkin tidak sampai terbahak-bahak, karena nuansa yang lahir adalah komedi satir yang segar dan tak disangka-sangka. Namun dengan segenap kecenderungan komedinya, novel ini masih bisa menjadi sesuatu yang puitis, melankolik, dan penuh kepedihan. Segmen “The Survivor” bercerita mengenia wanita yang lelah dengan dunia, dan meninggalkannya begitu saja. “..Dia tinggalkan dunia di belakangnya dari suatu tempat bernama Doctor's Gully...”

Dalam pelayarannya, wanita ini bermimpi, berhalusinasi, dan berperang dengan benaknya sendiri, sementara pembaca mempertanyakan mana realitas yang benar. The Survivor dengan cergas menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga secara bergantian, yang dengan cara ini kondisi kejiwaan tokoh utama disenaraikan.

Bagian-bagian lain seakan-akan parade seorang novelis yang all-round. Ia bukan hanya pencerita handal, namun seorang sejarawan yang memahami dengan caranya sendiri, dan diatas semua hal; seorang kritikus. “Kapal Karam” adalah malapateka Rakit Medusa yang tenggelam dan bagaimana kemudian malapetaka itu kemudian diubah menjadi seni, lukisan terkenal karya Gericault.

“Gunung” dan Project Ararat mengisahkan petualangan mencari bahtera Nuh, dengan twist ending. Muncul pula seorang korban selamat Titanic dalam “Tiga Cerita Sederhana”--bersama dengan Kisah Yunus yang dimakan Hiu, dan korban Nazi yang terombang-ambing di lautan dalam “St. Louis”.
Bagian yang paling menyenangkan menurut saya adalah “Ke Hulu!”--menceritakan pembuatan film di hutan Amazon. Cerita bergerak melalui surat-surat yang dikirimkan Charlie, aktor dalam film truthspiel kepada Pippa, pacarnya—yang tidak dibalas-balas sampai cerita selesai. Charlie menulis surat dengan kocak, hampir berangasan mengenai amazon, interaksi dengan sesama kru film, dan suku indian yang telanjang, termasuk yang wanitanya. Charlie berusaha menahan untuk mendekati wanita-wanita Indian dengan menanamkan mindset: “mereka pasti penyakitan.”

Melalui “Ke Hulu!”, penulisnya mencoba masuk ke wilayah populer, setelah berlama-lama bermain-main di wilayah serius. Segmen ini mengingatkan pada film Romancing The Stone-nya Michael Douglas; lucu, dan penuh petualangan. Pada “Parenthesis”, kita menemui definisi dari kata-kata cinta, dengan cara yang tidak pernah dilakukan siapapun. Sementara “Mimpi” menggugah suatu otokritik terhadap spiritualisme, dan pemaknaan kembali surga, ketika seorang laki-laki terbangun dan mendapati dirinya berada di surga.

“...Surga demokratis akhir-akhir ini.”
“Apa maksudmu?”
“Kami tidak memaksakan Surga kepada orang-orang lagi. Kalau mereka ingin, mereka bisa mendapatkannya; kalau tidak ya tidak...”

Novel ini sekali lagi adalah novel yang cerdas, menggiring pembaca dengan cekatan menyusuri peristiwa yang dituturkan dengan penuh kejutan, manis, dan rumit sekaligus enak dibaca sampai kata terakhir. Ia ingin berkata bahwa dunia berputar sedemikian rupa dan peristiwa saling berkelindan. “Sejarah berulang, pertama sebagai tragedi, kedua sebagai olok-olok.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar