Sabtu, 06 Juni 2015

Kelewat Bangga

Mantan bos gue punya hobby yang lumayan ajaib untuk orang-orang yang kerja di dunia digital: bawa koran pagi ke kantor, dan ngebahas headline-nya sama gue. Koran ini bisa didapat gratis dari resepsionis gedung kantor gue dan suatu hari dia membawa koran Malaysia yang cover-nya PM Najib Razak yang lalu dia tunjukkin ke gue. Gue refleks nyeletuk: “He is Indonesian!”

Gue nggak sadar kalau gue udah setengah teriak waktu bilang begitu. Dia malah nanya balik, “Ok, so you want to take him back?”. Gue ngakak. Mana bisa? Lagian waktu itu orang Indonesia lagi demen banget sama Jokowi, meski kemudian pada Pilpres 2014, Jokowi ternyata kalah telak di Malaysia. :p

Tapi gue bukan mau ngomongin politik di sini, melainkan kebanggaan gue yang kadang-kadang berlebihan sama Indonesia, yang menurut teman-teman kantor gue rada konyol. Contohnya sejak awal gue kerja di perusahaan ini sampai hampir dua tahun kemudian, gue masih tetap ngebangga-banggain Indonesia, dengan agak membabi buta.

Jadi kalau misalnya ada teman yang ngomongin makanan, gue akan langsung nyeletuk, “negara gue juga punya kok yang kayak gitu.” Sampai suatu hari teman gue bawa oleh-oleh snack dari Thailand, gue bilang kalau “this food is like Indonesia’s Rengginang, but ours are way bigger!”

Belakangan, gue menemukan banyak banget tokoh-tokoh terkenal Malaysia yang memiliki darah Indonesia, contohnya adalah PM Najib yang adalah keturunan Bugis itu. Tentu saja ini juga bikin gue makin bangga sebagai orang Indonesia yang kebetulan sedang tinggal di Malaysia. 

Indonesia nggak cuma TKI-TKW yang harus mengerjakan pekerjaan 3D (Dirty, Dangerous, Demeaning) tapi juga mereka yang sudah membangun Malaysia, mengharumkan nama Malaysia,  memegang jabatan-jabatan penting di negara ini, dan bahkan yang jiwa raganya “sudah” Malaysia. 

Sejak jaman dulu orang-orang Indonesia memang sudah melanglang buana, bahkan katanya sampai ke Madagaskar, apalagi ‘cuma’ ke Malaysia yang jaraknya sekayuhan perahu aja dari negara kita. 

Orang-orang dari Bugis, Jawa, Banjar sampai Aceh bahkan sudah menyebar sampai ke Malaysia sejak berabad-abad yang lalu dengan sebab atau pemicu yang berbeda-beda. 

Orang Bugis yang terkenal sebagai pelaut ulung sudah sejak abad 17 menyebar sampai ke Jawa, Kalimantan, Riau dan Selangor, Semenanjung Malaysia. Mereka memiliki pengetahuan yang cukup maju di jamannya, yang mencakup tidak hanya tentang navigasi kelautan tapi juga persenjataan modern, dan bergerak sebagai sebuah masyarakat sosial yang utuh, lengkap dengan garis kepemimpinan yang jelas. Mereka dengan luar biasa membawa unit terkecil pemerintahan ketika mereka menyebar dan masing-masing unit ini merupakan bagian dari unit kebudayaan Bugis yang lebih besar dimana mereka akan saling membantu.

Lain halnya dengan arus migrasi orang Aceh ke Malaysia. Dimulai sejak berabad-abad sebelumnya untuk misi perdagangan dan penaklukkan, hijrahnya orang Aceh ke Malaysia mencapai puncaknya pada tahun 1888-1915.  Saat itu, orang-orang Aceh yang dipimpin kaum ulama harus hijrah dengan alasan mengumpulkan uang untuk membiayai perang melawan Belanda. Kini, keturunan mereka masih tinggal di suatu area yang dikenal sebagai Kampung Aceh, yang terletak di Yan, Negara Bagian Kedah. 

Karena penasaran (dan emang pengen jalan-jalan), suatu hari gue benar-benar memberanikan diri berkunjung ke Kampung Aceh. Agak nekad sih, karena gue harus naik bis dari KL, dengan lama perjalanan 7 jam, dan harus ganti bis dua kali, untuk sampai ke terminal kecil di pelosok Kedah. 

Dari terminal, gue lanjutin dengan berjalan kaki dan janjian untuk ketemu dengan Cikgu Ilias, seorang sesepuh warga keturunan Aceh di Kampung Aceh. Sore itu matahari bersinar sangat cerah sehingga gue bisa melihat Gunung Jerai berdiri gagah di kejauhan. Gunung inilah yang juga jadi patokan ketika berabad-abad yang lalu orang-orang Aceh meninggalkan Tanah Rencong dan mendarat di Malaysia. 

Cikgu Ilias Nyak Saad adalah seorang pria separuh baya yang ramah banget. Dia masih fasih berbahasa Aceh dan menggunakannya lebih banyak dari Bahasa Melayu. Demikian juga orang-orang Aceh di sini, semuanya berbahasa Aceh, dan bukan Bahasa Melayu seperti orang-orang Malaysia pada umumnya. 

Gue ngobrol banyak sama Cikgu Ilias, sampai akhirnya gue tahu kalau banyak tokoh keturunan Aceh yang jadi orang besar di Malaysia, salah satunya adalah Tan Sri Dato’ Sri Sanusi Junid, Menteri Pertanian dan Menteri Pembangunan Negara dan Luar Bandar  pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad.  Bahkan seniman besar P Ramlee, ternyata adalah keturunan Aceh. Leluhur P. Ramlee ikut hijrah untuk menghindari Belanda, tapi waktu itu leluhurnya tidak mendarat di Kedah, melainkan di Penang. 

Obrolan berjalan sangat seru, sampai-sampai gue memutuskan untuk menginap semalam di homestay yang dikelola Cikgu. Gue menyaksikan denyut kehidupan di sini pastilah sangat mirip dengan di Aceh sana. Rumah-rumahnya dibangun dengan gaya tradisional Aceh, dan kita akan melihat anak-anak kecil belajar di Sekolah Agama Islam yang disini disebut sebagai Maktab Mahmud.

Sekembalinya gue dari kunjungan singkat itu, gue makin penasaran. Siapa aja ya Diaspora Indonesia di Malaysia? 

Sampai akhirnya gue menemukan buku berjudul “Found in Malaysia”. Buku ini berisi kumpulan wawancara dengan 50 tokoh terkenal Malaysia yang sama-sama membicarakan hal yang selalu sensitif di Malaysia: isu pendatang. Dikemas dalam format Q and A, pertanyaan-pertanyaan untuk semua narasumbernya hampir sama, termasuk pertanyaan ini: “Can you trace your ancestry?”

Karena gue pengen tahu berapa banyak orang Malaysia di buku itu yang leluhurnya orang Indonesia, gue lipet halaman yang menyinggung “Indonesia”, sampai akhirnya begitu selesai gue baca buku ini, gue melihat hampir semua halaman di buku itu ada lipatannya!

Ternyata penyanyi legendaris Sheila Madjid punya darah Indonesia dari pihak ayah dan ibunya. Ayahnya orang Jawa, ibunya punya darah Batak Mandailing.

Menteri Dalam Negeri Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, juga punya darah Jawa, dan kalau ngomong Jawa, masih kedengaran medok.

Dewi Liana Seriestha, Miss Malaysia 2014, separuh Indonesia. Ayahnya, Yudi Seriestha, asal Bandung.

Chef Wan, punya darah Jawa. 

Farish Noor, akademisi terkenal Malaysia, juga punya darah Jawa.

Hussamuddin Yaacub, pengusaha media, memiliki darah Minangkabau. 

Tan Sri Dr. Rais Yatim, politisi senior Malaysia, juga punya darah Minang. 

Tun Haji Abdul Razak bin Dato' Haji Hussein, yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan Malaysia, memiliki darah bangsawan Bugis.

Orang-orang asal Indonesia atau berdarah Indonesia dan keturunannya di Malaysia memang ada yang jadi politisi, pengusaha, menteri, bahkan perdana menteri dan wakil perdana menterinya. Ada juga yang jadi atlet, seniman, dosen, peneliti, pelukis, ulama, sastrawan, dan sebagainya. Bahkan jabatan penting seperti Menteri Besar (setara dengan “gubernur”) dijabat oleh orang-orang berdarah Indonesia. 

Kebayang kan, betapa eksisnya Diaspora Indonesia di Malaysia? Mereka tidak cuma yang berangkat kemarin sore untuk mencari sekeping Ringgit sebagai buruh migran atau ekspatriat, tapi juga para bangsawan, ulama, pelaut, atau pedagang sejak berabad-abad yang lampau. Mereka sudah ikut andil menciptakan wajah Malaysia sampai menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini. 

Oleh karena itulah gue nggak heran lagi waktu tahu kalau ada teman kantor gue punya darah Indonesia. Dia mix Jawa dan Thailand. Mantan Menteri Besar Selangor, negara bagian yang gue tinggalin, leluhurnya asal Jawa. Kampung di belakang apartemen gue, dihuni oleh banyak orang Madura. Bahkan  gue yakin, hampir di seluruh bagian Malaysia ini pasti ada hal-hal yang bisa dikaitkan dengan Indonesia.

Ah. Gue bersyukur. Rupanya keputusan gue untuk bekerja di Malaysia bukan keputusan yang gegabah dan nggak ada maknanya. At least, sekarang gue jadi lebih tahu kapasitas negara gue. 

Akhirnya, gue jadi mikir, apa jadinya ya Malaysia ini tanpa orang-orang dari Indonesia? 



2 komentar:

  1. wah ini posting menarik ...thx for sharing....btw kykya tulisan lo ini jg bakal lbh menarik deh kalo diangkat jd film dokumenter singkat

    BalasHapus